Al
Mubahat wal Makruhat fish Shiyaam (Hal-hal yang diperbolehkan dan
dimakruhkan ketika puasa)
Oleh:
Farid Nu’man Hasan
A.
Al Mubahat (Hal-Hal yang diperbolehkan)
Pada
dasarnya, hal-hal yang diperbolehkan bagi orang berpuasa lebih banyak dibanding
perbuatan yang dilarang (baik makruh atau haram). Selain secara dalil juga lebih kuat dan
banyak. Sedangkan alasan pemakruhan biasanya karena alasan pencegahan (dzari’ah)
dan jika perbuatan itu melampaui batas.
- Berendam
di Air atau Mandi
Abu Bakar berkata, telah ada yang bercerita
kepadaku seseorang:
لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
بِالْعَرْجِ يَصُبُّ الْمَاءَ عَلَى رَأْسِهِ مِنْ الْعَطَشِ أَوْ مِنْ الْحَر
“Aku telah melihat Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam mengguyurkan air ke kepalanya, lantaran rasa haus dan
panas.” (HR. Malik, Al
Muwaththa, No. 561,
riwayat Yahya Al Laits. Ahmad No. 16602. Syaikh Syu’aib Al
Arnauth mengatakan: shahih. Ta’liq Musnad Ahmad No. 16602)
Disebutkan dalam Imam Abu Sulaiman Walid Al Baji Rahimahullah mengatakan:
وَقَدْ بَلَغَ بِهِ شِدَّةُ الْعَطَشِ أَوْ الْحَرِّ أَنْ صَبَّ الْمَاءَ
عَلَى رَأْسِهِ لِيَتَقَوَّى بِذَلِكَ عَلَى صَوْمِهِ وَلِيُخَفِّفْ عَنْ نَفْسِهِ
بَعْضَ أَلَمِ الْحَرِّ أَوْ الْعَطَشِ وَهَذَا أَصْلٌ فِي اسْتِعْمَالِ مَا يَتَقَوَّى
بِهِ الصَّائِمُ عَلَى صَوْمِهِ مِمَّا لَا يَقَعُ بِهِ الْفِطْرُ مِنْ التَّبَرُّدِ
بِالْمَاءِ وَالْمَضْمَضَةِ بِهِ ؛ لِأَنَّ ذَلِكَ يُعِينُهُ عَلَى الصَّوْمِ وَلَا
يَقَعُ بِهِ الْفِطْرُ ؛ لِأَنَّهُ يَمْلِكُ مَا فِي فَمِهِ مِنْ الْمَاءِ وَيَصْرِفُهُ
عَلَى اخْتِيَارِهِ وَيُكْرَهُ لَهُ الِانْغِمَاسُ فِي الْمَاءِ لِئَلَّا يَغْلِبَهُ
الْمَاءُ مَعَ ضِيقِ نَفَسِهِ فَيَفْسُدَ صَوْمُهُ فَإِنْ فَعَلَ فَسَلِمَ فَلَا شَيْءَ
عَلَيْهِ .
“Beliau
mengalami haus atau panas yang sangat, sehingga beliau
mengguyurkan air ke kepalanya untuk menguatkan puasanya, dan meringankan
sebagian rasa sakit yang dialami dirinya lantaran panas atau haus. Ini adalah
hukum dasar dalam memakai apa saja yang bisa menguatkan orang berpuasa, yakni
tidaklah membatalkan puasa, baik berupa menyejukkan diri dengan air dan
berkumur-kumur dengannya. Karena hal itu bisa membantunya dalam puasa dan
tidaklah membatalkan puasanya, karena dia mampu menjaga mulutnya dari air dan
bisa mengatur air. Dan dimakruhkan berendam dalam air karena air telah
menguasai (menutupi) dirinya dan membuatnya disempitkan dnegan air tersebut,
sehingga puasanya bisa dirusak olehnya.
Tetapi jika dia melakukan itu, dan selamat dari hal itu, maka tidak apa-apa.” (Al Muntaqa Syarh Al Muwaththa’ , Juz.
2, Hal. 172, Mawqi’ Al Islam)
Tentang hadits di atas, berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah:
فِيهِ دَلِيلٌ عَلَى أَنَّهُ يَجُوزُ لِلصَّائِمِ أَنْ يَكْسِرَ الْحَرَّ
بِصَبِّ الْمَاءِ عَلَى بَعْضِ بَدَنِهِ أَوْ كُلِّهِ ، وَقَدْ ذَهَبَ إلَى ذَلِكَ
الْجُمْهُورُ ، وَلَمْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ الْأَغْسَالِ الْوَاجِبَةِ وَالْمَسْنُونَةِ
وَالْمُبَاحَةِ .
وَقَالَتْ الْحَنَفِيَّةُ : إنَّهُ يُكْرَهُ الِاغْتِسَالُ لِلصَّائِمِ
، وَاسْتَدَلُّوا بِمَا أَخْرَجَهُ عَبْدُ الرَّزَّاقِ عَنْ عَلِيٍّ مِنْ النَّهْيِ
عَنْ دُخُولِ الصَّائِمِ الْحَمَّامَ
“Dalam
hadits ini terdapat dalil bolehnya bagi orang puasa mengurangi rasa
panas dengan mengguyurkan air ke sebagian badannya atau seluruhnya (seperti
mandi, pen), demikianlah madzhab jumhur (mayoritas ulama),
dan mereka tidak membedakan antara mandi wajib, sunah, dan mubah (semuanya
hukumnya sama).
Kalangan
Hanafiyah berkata: “Sesungguhnya mandi adalah makruh bagi orang berpuasa,
mereka beralasan dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abdurrazzaq, dari Ali,
berupa larangan bagi orang puasa untuk memasuki kamar mandi.” (Nailul Authar, 4/585. Lihat ‘Aunul
Ma’bud, 6/352)
Tetapi riwayat larangan tersebut adalah dhaif,
sebagaimana dikatakan Al Hafizh Ibnu Hajar. (Ibid)
2. Memakai celak (Iktihal)
atau meneteskan obat ke mata
Berkata Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
الاكتحال: والقطرة ونحوهما
مما يدخل العين، سواء أوجد طعمه في حلقه أم لم يجده، لان العين ليست بمنفذ إلى
الجوف. وعن أنس: " أنه كان يكتحل وهو صائم ". وإلى هذا ذهبت
الشافعية، وحكاه ابن المنذر، عن عطاء، والحسن، والنخعي، والاوزاعي، وأبي حنيفة،
وأبي ثور. وروي عن ابن عمر، وأنس وابن أبي أوفى من الصحابة. وهو مذهب داود. ولم
يصح في هذا الباب شئ عن النبي صلى الله عليه وسلم، كما قال الترمذي.
“Bercelak dan meneteskan obat atau lain-lain ke
dalam mata, semuanya adalah sama. Walau pun terasa dalam keronkongan atau
tidak, karena mata bukanlah bukanlah jalan menuju rongga perut. Dari Anas: “Bahwa beliau bercelak padahal
sedang berpuasa.” Inilah madzhab Syafi’iyyah, dan menurut cerita Ibnul Mundzir,
ini juga pendapat Atha’, Al Hasan, An Nakha’i, Al Auza’i, Abu Hanifah dan Abu
Tsaur. Diriwayatkan pula dari Ibnu Umar, Anas, dan Ibnu Abi Aufa dari golongan
sahabat. Ini juga madzhab Daud, dalam masalah ini tak ada satu pun yang
shahih dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam (yang menunjukkan
larangan, pen) sebagaimana yang dikatakan oleh Imam At Tirmidzi.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah,
Juz. 1, Hal. 460)
3. Hijamah (Berbekam) selama
tidak melemahkan
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ احْتَجَمَ وَهُوَ مُحْرِمٌ وَاحْتَجَمَ وَهُوَ صَائِمٌ
Dari
Ibnu ‘Abbas Radhiallahu ‘Anhuma, bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam berbekam dan beliau sedang ihram, dan pernah berbekam padahal sedang
berpuasa.” (HR. Bukhari No. 1938)
Dari Tsabit Al
Bunani:
سُئِلَ أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَكُنْتُمْ
تَكْرَهُونَ الْحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ قَالَ لَا إِلَّا مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ
“Anas
bin Malik ditanya: “Apakah Anda memakruhkan berbekam bagi orang puasa?” beliau
menjawab: “Tidak, selama tidak membuat lemah.” (HR. Bukhari No. 1940)
Imam Ibnu Hajar Rahimahullah
berkata:
قَالَ اِبْن عَبْد الْبَرّ
وَغَيْره : فِيهِ دَلِيل عَلَى أَنَّ حَدِيث " أَفْطَرَ الْحَاجِم
وَالْمَحْجُوم " مَنْسُوخ لِأَنَّهُ جَاءَ فِي بَعْض طُرُقه أَنَّ ذَلِكَ
كَانَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاع
“Berkata
Ibnu Abdil Bar dan lainnya: “Hadits ini merupakan dalil, bahwa hadits yang
berbunyi “Orang yang membekam dan yang dibekam, hendaknya berbuka,” telah mansukh
(dihapus) karena telah ada beberapa riwayat lain bahwa hal itu (berbekam
ketika ihram) terjadi pada haji wada’ (perpisahan).” (Fathul Bari,
4/178. Darul Ma’rifah)
Dari keterangan ini maka jelaslah
kebolehkan berbekam, kecuali jika melemahkan, maka ia makruh sebagaimana yang
dikatakan Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu. Hal ini sama dengan orang
yang mendonorkan darahnya, tidak apa-apa jika tidak melemahkannya. Inilah pendapat
yang lebih kuat dalam hal ini. Wallahu A’lam
4.Kumur-kumur
dan Menghirup air ke rongga hidung (istinsyaq) tanpa berlebihan
Dari
Laqith bin Shabrah Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَسْبِغْ الْوُضُوءَ
وَخَلِّلْ بَيْنَ الْأَصَابِعِ وَبَالِغْ فِي الِاسْتِنْشَاقِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ
صَائِمًا
“Bersungguh-sungguhlah berwudhu’ dan
gosok-gosoklah antara jari jemari kalian, dan bersungguhlah dalam menghirup
air, kecuali jika kalian puasa.” (HR. Abu Daud No. 2366, At Tirmidzi No.
788, katanya: hasan shahih)
Hadits ini menunjukkan bolehnya
menghirup air ke rongga hidung, namun makruh jika berlebihan,
oleh karena itu Imam At Tirmidzi memberi judul Bab Ma Ja’a Fi Karahiyah
Mubalaghah Al Istinsyaq Li Shaim (Apa-apa
saja yang dimakruhkan, berupa menghirup air bagi orang berpuasa secara
berlebihan/mubalaghah).
Apakah batasan berlebihan? Berkata
Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri ketika mengomentari hadits di atas:
فَلَا تُبَالِغْ لِئَلَّا يَصِلَ إِلَى
بَاطِنِهِ فَيُبْطِلَ الصَّوْمَ .
“Maka janganlah berlebihan, yakni hingga
sampainya (air) ke rongga perutnya, sehingga batal-lah puasa.” (Tuhfah Al
Ahwadzi, 3/418. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Diriwayatkan dari Umar Radhilallahu ‘Anhu:
عنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ هَشَشْتُ
يَوْمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا فَقَبَّلْتُ
وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ قُلْتُ لَا بَأْسَ
بِذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفِيمَ
Suatu hari bangkitlah syahwat
saya, lalu saya mencium isteri, saat itu saya sedang puasa. Maka saya datang
kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, saya berkata: “Hari
ini, Aku telah melakukan hal yang besar, aku mencium isteri padahal sedang
puasa.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apa pendapatmu
jika kamu bekumur-kumur dengan air dan kamu sedang berpuasa?”, Saya (Umar)
menjawab: “Tidak mengapa.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda: “Lalu, kenapa masih ditanya?” (HR. Ahmad No. 138. Syaikh Syu’aib
Al Arnauth mengatakan: shahih, sesuai syarat Muslim. Lihat Ta’liq
Musnad Ahmad No. 138)
Hadits ini menunjukkan bahwa
berkumur-kumur tidaklah mengapa, dan disamakan dengan mencium isteri, selama
tidak sampai berlebihan.
5. Bersiwak (menggosok gigi) baik pagi atau siang
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah
berkata:
ويستحب
للصائم أن يتسوك أثناء الصيام، ولا فرق بين أول النهار وآخره. قال الترمذي: "
ولم ير الشافعي بالسواك، أول النهار وآخره بأسا ". وكان النبي صلى الله عليه
وسلم يتسوك، وهو صائم.
Disunahkan
bersiwak bagi orang yang berpuasa ketika ia berpuasa, tak ada perbedaan antara
di awal siang dan akhirnya. Berkata At Tirmidzi: “Imam Asy Syafi’i menganggap
tidak mengapa bersiwak pada awal siang dan akhirnya.” Dan Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersiwak, padahal dia sedang puasa. (Syaikh Sayyid
Sabiq, Fiqhus Sunnah, Juz. 1,Hal. 459)
Beliau
menambahkan:
والصائم والمفطر في استعماله أول النهار وآخره سواء، لحديث
عامر بن ربيعة رضي الله عنه
Dan disunnahkan bagi orang yang berpuasa dan tidak, untuk
bersiwak baik di awal siang atau di akhirnya, sama saja. Diriwayatkan dari Amir
bin Rabi’ah Radhiallahu ‘Anhu:
وَيُذْكَرُ عَنْ عَامِرِ بْنِ
رَبِيعَةَ قَالَ رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْتَاكُ
وَهُوَ صَائِمٌ مَا لَا أُحْصِي أَوْ أَعُدّ
Disebutkan dari Amir bin Rabi’ah, dia berkata: “Aku melihat
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersiwak, dan dia sedang puasa, dan
tidak terhitung jumlahnya.” (HR. Bukhari, Bab
Siwak Ar Rathbi wal Yaabis Lish Shaa-im)
Imam Al Bukhari membuat judul Bab dalam kitab Jami’ush Shahih-nya:
بَاب سِوَاكِ الرَّطْبِ وَالْيَابِسِ لِلصَّائِمِ
“Siwak dengan yang kayu basah dan yang kering bagi orang
Berpuasa”
Imam Ibnu Hajar berkata dalam Al Fath:
وَأَشَارَ بِهَذِهِ التَّرْجَمَةِ إِلَى الرَّدِّ عَلَى مَنْ
كَرِهَ لِلصَّائِمِ الِاسْتِيَاكَ بِالسِّوَاكِ الرَّطْبِ كَالْمَالِكِيَّةِ
وَالشَّعْبِيِّ ، وَقَدْ تَقَدَّمَ قَبْلُ بِبَابِ قِيَاسِ اِبْنِ سِيرِينَ
السِّوَاكَ الرَّطْبَ عَلَى الْمَاء الَّذِي يُتَمَضْمَضُ بِهِ
“Keterangan ini mengisyaratkan bantahan atas pihak yang
memakruhkan bersiwak bagi orang yang berpuasa, yakni bersiwak dengan kayu
basah, seperti kalangan Malikiyah dan Asy Sya’bi, dan telah dikemukakan
sebelumnya tentang qiyas-nya Ibnu Sirin,bahwa bersiwak dengan ‘yang basah’ itu sama
halnya seperti air yang dengannya kita berkumur-kumur (yakni boleh, pen).”
(Imam Ibnu Hajar, Fathul Bari, 4/158)
Dalam Tuhfah Al Ahwadzi disebutkan:
(
إِلَّا أَنَّ بَعْضَ أَهْلِ الْعِلْمِ كَرِهُوا السِّوَاكَ لِلصَّائِمِ بِالْعُودِ
الرَّطْبِ ) كَالْمَالِكِيَّةِ
وَالشَّعْبِيِّ فَإِنَّهُمْ كَرِهُوا لِلصَّائِمِ الِاسْتِيَاكَ بِالسِّوَاكِ
الرَّطْبِ لِمَا فِيهِ مِنْ الطَّعْمِ ، وَأَجَابَ عَنْ ذَلِكَ اِبْنُ سِيرِينَ
جَوَابًا حَسَنًا ، قَالَ الْبُخَارِيُّ فِي صَحِيحِهِ : قَالَ اِبْنُ سِيرِينَ :
لَا بَأْسَ بِالسِّوَاكِ الرَّطْبِ ، قِيلَ لَهُ طَعْمٌ ، قَالَ وَالْمَاءُ لَهُ
طَعْمٌ وَأَنْتَ تُمَضْمِضُ بِهِ اِنْتَهَى . وَقَالَ اِبْنُ عُمَرَ : لَا بَأْسَ
أَنْ يَسْتَاكَ الصَّائِمُ بِالسِّوَاكِ الرَّطْبِ وَالْيَابِسِ رَوَاهُ اِبْنُ
أَبِي شَيْبَةَ ، قُلْت هَذَا هُوَ الْأَحَقُّ
(Hanya saja sebagian ahli ilmu ada yang memakruhkan
bersiwak bagi orang yang berpuasa dengan menggunakan dahan kayu yang basah)
seperti kalangan Malikiyah dan Imam Asy Sya’bi, mereka memakruhkan orang
berpuasa bersiwak dengan dahan kayu basah karena itu bagian dari makanan. Ibnu
Sirin telah menyanggah itu dengan jawaban yang baik. Al Bukhari berkata dalam Shahihnya:
“Berkata Ibnu Sirin: Tidak mengapa bersiwak dengan kayu basah, dikatakan “
bahwa itu adalah makanan”, Dia (Ibnu Sirin) menjawab: Air baginya juga makanan,
dan engkau berkumur kumur dengannya (air).” Selesai. Ibnu Umar berkata:
“Tidak mengapa bersiwak bagi yang berpuasa baik dengan kayu basah atau kering,”
diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah. Aku (pengarang Tuhfah Al Ahwadzi)
berkata: Inilah yang lebih benar.” (Syaikh Muhammad Abdurrahman bin
Abdurrahim Al Mubarkafuri, Tuhfah Al Ahwadzi, 3/345)
Dengan demikian tidak mengapa bahkan sunah kita bersiwak
ketika berpuasa, baik, pagi, siang, atau sore secara mutlak. Syaikh Al
Mubarkafuri mengatakan:
وَبِجَمِيعِ
الْأَحَادِيثِ الَّتِي رُوِيَتْ فِي مَعْنَاهُ وَفِي فَضْلِ السِّوَاكِ فَإِنَّهَا
بِإِطْلَاقِهَا تَقْتَضِي إِبَاحَةَ السِّوَاكِ فِي كُلِّ وَقْتٍ وَعَلَى كُلِّ
حَالٍ وَهُوَ الْأَصَحُّ وَالْأَقْوَى
“Dan dengan
mengumpulkan semua hadits-hadits yang diriwayatkan tentang ini dan tentang keutamaan bersiwak, bahwa keutamaannya adalah
mutlak, dan kebolehannya itu pada setiap waktu, setiap keadaan, dan itu
lebih shahih dan lebih kuat.” (Ibid)
Adapun pasta gigi, dihukumi sama
dengan kayu basah, karena sama-sama mengandung air dan rasa. Dan Imam An Nawawi
mengatakan bahwa dengan alat apa pun selama tujuan ‘membersihkan’ telah
tercapai, itu juga dinamakan bersiwak, baik itu dengan jari, kain, atau lainnya
selama tidak membahayakan. Imam Abul Hasan As Sindi berkata:
وَهُوَ كُلّ آلَة يُتَطَهَّر بِهَا شُبِّهَ السِّوَاك بِهَا
؛ لِأَنَّهُ يُنَظِّف الْفَم ، وَالطَّهَارَة النَّظَافَة ذَكَرَهُ
النَّوَوِيّ
“Yaitu alat apa saja yang bisa mensucikan dengannya maka
dia menyerupai siwak, karena dia bisa membersihkan mulut, bersuci dan
membersihkan, demikian kata An Nawawi” (Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil
Hadi As Sindi, Syarh An Nasa’i, 1/10)
6. Mencicipi makanan sekedarnya
Berkata
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah:
وقال ابن عباس: لا
بأس أن يذوق الطعام الخل، والشئ يريد شراءه. وكان الحسن يمضغ الجوز لابن ابنه وهو صائم، ورخص
فيه إبراهيم.
“Berkata Ibnu Abbas: ‘Tidak mengapa
mencicipi asamnya makanan, atau sesuatu yang hendak dibelinya.’ Al Hasan pernah
mengunyah-ngunyah kelapa untuk cucunya, padahal dia sedang puasa, dan Ibrahim
memberikan keringanan dalam hal ini.” (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah,
1/462)
7. Hal-hal yang tidak mungkin dihindari (menelan ludah,
menghirup debu jalanan, menyaring tepung, dan lain-lain)
Syaikh
Sayyid Sabiq mengatakan:
كذا يباح له ما لا
يمكن الاحتراز عنه كبلع الريق وغبار الطريق، وغربلة الدقيق والنخالة ونحو ذلك.
“Demikian
pula, dibolehkan baginya apa-apa yang tidak mungkin dihindari, seperti menelan
ludah, menghirup debu jalanan, menyaring tepung, dan lain-lain.” (Syaikh
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah, 1/462)
8. Junub di Pagi hari
‘Aisyah
dan Ummu Salamah Radhiallahu ‘Anhuma menceritakan:
أَنَّ رَسُولَ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ
جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ
“Adalah Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam memasuki fajar dalam keadaan junub karena berhubungan
dengan isterinya, lalu dia mandi dan berpuasa.” (HR. Bukhari No. 1925,
Muslim No. 1109)
Imam Ibnu Hajar mengatakan:
قَالَ الْقُرْطُبِيّ : فِي هَذَا فَائِدَتَانِ ، إِحْدَاهُمَا
أَنَّهُ كَانَ يُجَامِع فِي رَمَضَان وَيُؤَخِّر الْغُسْل إِلَى بَعْد طُلُوع
الْفَجْر بَيَانًا لِلْجَوَازِ . الثَّانِي أَنَّ ذَلِكَ كَانَ مِنْ جِمَاع لَا
مِنْ اِحْتِلَام لِأَنَّهُ كَانَ لَا يَحْتَلِم إِذْ الِاحْتِلَام مِنْ
الشَّيْطَان وَهُوَ مَعْصُوم مِنْهُ .
“Berkata Al Qurthubi: “Hadits ini ada
dua faidah. Pertama, bahwa beliau berjima’ pada Ramadhan (malamnya) dan
mengakhirkan mandi hingga setelah terbitnya fajar, merupakan penjelasan
bolehnya hal itu. Kedua, hal itu (junub) dikarenakan jima’ bukan karena mimpi
basah, karena beliau tidaklah mimpi basah, mengingat bahwa mimpi basah adalah
dari syetan, dan beliau ma’shum dari hal itu.” (Fathul Bari, 4/144)
9.
Mencium Harum-Haruman
Tak
ada keterangan yang shahih tentang pelarangannya, oleh karena itu Imam Ibnu
Taimiyah berkata:
وَشَمُّ
الرَّوَائِحِ الطَّيِّبَةِ لَا بَأْسَ بِهِ لِلصَّائِمِ
“Mencium harum-haruman adalah tidak
mengapa bagi orang berpuasa.” (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Fatawa Al
Kubra, 5/376)
10.
Mencium Isteri Selama mampu menahan diri
Sebelum saya bahas dari sisi
dalil, saya sampaikan secara global apa yang dikatakan oleh Syaikh Sayyid
Sabiq Rahimahullah berikut:
قال
ابن المنذر رخص في القبلة عمر وابن عباس وأبو هريرة وعائشة، وعطاء، والشعبي،
والحسن، وأحمد، وإسحاق. ومذهب الاحناف والشافعية: أنها تكره على من حركت شهوته،
ولا تكره لغيره، لكن الاولى تركها. ولا فرق بين الشيخ والشاب في ذلك، والاعتبار
بتحريك الشهوة، وخوف الانزال، فإن حركت شهوة شاب، أو شيخ قوي، كرهت. وإن لم تحركها
لشيخ أو شاب ضعيف، لم تكره، والاولى تركها. وسواء قبل الخد أو الفم أو غيرهما.
وهكذا المباشرة باليد والمعانقة لهما حكم القبلة.
Berkata
Ibnul Mundzir: Umar, Ibnu Abbas, Abu Hurairah,
Aisyah, Atha’, Asy Sya’bi, Ahmad dan Ishaq, mereka memberikan rukhshah
(keringanan) dalam hal mencium (isteri).
Madzhab
Hanafi dn Asy Syaf’i: Mencium itu makruh jika melahirkan syahwat, dan tidak
makruh jika tidak bersyahwat, tetapi lebih utama meninggalkannya.
Dalam
hal ini, tak ada perbedaan antara anak muda dan orang tua, yang menjadi
pelajaran adalah munculnya syahwat (rangsangan) itu, dan kekhawatiran
terjadinya inzal (keluarnya mani). Maka, munculnya syahwat, baik anak muda dan
orang tua yang masih punya kekuatan, adalah makruh.. Namun, jika tidak
menimbulkan syahwat, baik untuk orang tua atau anak muda yang lemah, maka tidak
makruh, dan lebih utama adalah meninggalkannya. Sama saja, baik mencium pipi,
atau mulut, atau lainnya. Begitu pula mubasyarah (hubungan-cumbu) dengan tangan
atau berpelukan, hukumnya sama dengan mencium. (Syaikh Sayyid Sabiq, Fiqhus
Sunnah , 1/461)
Jika
dilihat dalil-dalil yang ada, dari berbagai perbedaan pendapat dalam hal
ini, maka akan kita dapatkan bahwa mencium
isteri adalah mubah bagi orang yang berpuasa. Inilah pendapat yang lebih kuat. Hal ini ditunjukkan langsung oleh perilaku
Rasulullah terhadap isterinya, begitu pula perilaku para sahabat terhadap
isteri mereka di antaranya Umar, Ibnu Mas’ud, Saad bin Abi Waqash, dan fatwa
Ibnu Abbas Radhiallahu ‘Anhum. Bahkan mereka melakukan ‘lebih’ dari
sekedar mencium sebagaimana yang akan nanti saya sampaikan. Sedangkan alasan
bagi pihak yang memakruhkan, biasanya adalah karena dzari’ah
(preventif, mencegah perbuatan yang mubah agar tidak jatuh ke yang haram),
atau jika karena melampau batas. Jadi, dilihat dari sisi dalil, maka pihak yang
memubahkan lebih rajih (kuat) landasannya. Berikut ini adalah bukti-buktinya.
Perbuatan Rasulullah dan ‘Aisyah
Rasulullah adalah laki-laki yang
paling mampu menahan hawa nafsunya, namun diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiallahu
‘Anha dia berkata:
كان يقبلني و هو صائم و أنا
صائمة
“Rasulullah mencium saya dan dia sedang puasa dan aku juga
berpuasa.”
Syaikh Al Albany berkata:
“Hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari.” (Syaikh Al Albani, As
Silsilah Ash Shahihah No. 219)
Dalam
hadits lain, juga dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha:
كان يباشر و هو صائم ، ثم
يجعل بينه و بينها ثوبا . يعني الفرج
“Rasulullah
bermubasyarah padahal sedang puasa, lalu dia membuat tabir dengan kain
antara dirinya dengan kemaluan (‘Aisyah).” (HR. Ahmad No. 24314, Syaikh
Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih. Lihat Ta’liq Musnad Ahmad
No. 24314)
Tentang hadits ini, berkata Al
‘Allamah Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah:
و هذا سند جيد ، رجاله كلهم
ثقات رجال مسلم ، و لولا أن طلحة هذا فيه كلام
يسير من قبل حفظه ، لقلت : إنه صحيح الإسناد ، و لكن تكلم فيه بعضهم ، و قال الحافظ في " التقريب " : " صدوق يخطىء " . قلت : و في هذا الحديث فائدة هامة و هو تفسير المباشرة بأنه مس
المرأة فيما دون الفرج ، فهو يؤيد
التفسير الذي سبق نقله عن القاري ، و إن كان حكاه بصيغة التمريض
( قيل ) : فهذا الحديث يدل على أنه قول معتمد ، و ليس في أدلة الشريعة ما ينافيه ، بل قد وجدنا في أقوال السلف ما يزيده قوة ، فمنهم راوية
الحديث عائشة نفسها رضي الله عنها
، فروى الطحاوي ( 1 / 347 ) بسند صحيح عن حكيم بن عقال
أنه قال : سألت عائشة : ما يحرم علي من امرأتي و أنا صائم ؟ قالت : فرجها و حكيم هذا وثقه ابن حبان و قال العجيلي : " بصري تابعي
ثقة " . و قد علقه البخاري ( 4 /
120 بصيغة الجزم : " باب المباشرة للصائم ، و قالت عائشة
رضي الله عنها : يحرم عليه فرجها " . و قال
الحافظ : " وصله الطحاوي من
طريق أبي مرة مولى عقيل عن حكيم بن عقال .... و إسناده إلى حكيم صحيح ، و يؤدي معناه
أيضا ما رواه عبد الرزاق بإسناد صحيح عن مسروق : سألت عائشة :
ما يحل للرجل من امرأته صائما ؟ قالت . كل شيء إلا الجماع " .
“Sanad
hadits ini jayyid (bagus). Semua rijalnya (periwayatnya) tsiqat
(terpercaya) dan dipakai oleh Imam Muslim, seandainya Thalhah (salah seorang
perawinya) tidak mendapat kritikan, saya akan katakan: hadits ini sanadnya
shahih. Namun, sebagian ulama ada yang membicarakannya. Berkata Al Hafizh (Ibnu
Hajar) dalam At Taqrib: “Dia jujur tapi melakukan kesalahan.”
Selanjutnya,
ada faedah penting dari hadits ini, yakni tafsir tentang arti mubasyarah
(bercumbu), yakni menyentuh wanita (isteri) selain kemaluannya. Pemaknaan ini
mendukung tafsir yang telah dikutip oleh Al Qari. Walau pun dia dalam
mengutipnya dengan bentuk kata tamridh (dikatakan ..). Maka hadits ini
dapat dijadikan sebagai acuan, dan tidak ada dalil syariat yang menentangnya.
Bahkan saya (Syaikh al Albany) telah menemukan prilaku para salaf (generasi
terdahulu) yang memperkuat kebolehannya. Di antaranya adalah hadits dari
‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha yang beliau tafsirkan sendiri, Ath Thahawi
telah meriwayatkan (1/347) dengan sanad yang shahih dari Hakim
bin Iqal, bahwa dia berkata: “Aku bertanya kepada ‘Aisyah: ‘Apa yang
haram bagiku terhadap isteriku saat aku sedang puasa?’, Dia menjawab: ‘Kemaluannya.’
Hakim
bin Iqal ini dinilai tsiqah (terpercaya) oleh Ibnu Hibban. Berkata Al
‘Ijili: “Dia (Hakim) adalah orang Bashrah (nama kota di Irak), generasi
tabi’in, dan tsiqah (terpercaya).” Sedangkan Imam Bukhari telah
mengomentari hadits ini (4/120) dalam
bab khusus dengan bentuk kata pasti: “Bab Mubasyarah (bercumbu) bagi orang
yang berpuasa dan perkataan ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha: Haram bagi
suaminya, kemaluannya.”
Sementara
Al Hafizh (Ibnu Hajar) berkata: “Ath Thahawi menyambungkan sanad hadits itu
melalui Abu Murrah, bekas pelayan Uqail, dari Hakim bin Iqal …” Penyandaran
kepada Hakim bin Iqal ini adalah shahih. Hal serupa juga diriwayatlan oleh
Abdurrazzaq dengan sanad yang shahih dari Masruq: “Aku bertanya kepada
‘Aisyah: “Apa sajakah yang dihalalkan bagi suami yang sedang puasa atas
isterinya?” Dia menjawab: “Semuanya halal kecuali jima’ (bersetubuh).” (Syaikh
al Albany, Silsilah Ash Shahihah, No. 221)
Perbuatan Umar bin Al Khathab Radhiallahu ‘Anhu
Diriwayatkan dari Umar Radhilallahu ‘Anhu:
عنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ هَشَشْتُ
يَوْمًا فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَأَتَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْرًا عَظِيمًا فَقَبَّلْتُ
وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ قُلْتُ لَا بَأْسَ
بِذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَفِيمَ
Suatu hari bangkitlah syahwat
saya, lalu saya mencium isteri, saat itu saya sedang puasa. Maka saya datang
kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, saya berkata: “Hari
ini, Aku telah melakukan hal yang besar, aku mencium isteri padahal sedang
puasa.” Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda: “Apa
pendapatmu jika kamu bekumur-kumur dengan air dan kamu sedang berpuasa?”, Saya
(Umar) menjawab: “Tidak mengapa.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersabda: “Lalu, kenapa masih ditanya?” (HR. Ahmad No. 138.
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: shahih, sesuai syarat Muslim.
Lihat Ta’liq Musnad Ahmad No. 138)
Perilaku Sa’ad bin Abi Waqqash Radhiallahu ‘Anhu
Dia adalah seorang sahabat nabi yang termasuk mubasysyiruna bil jannah (dijamin masuk
surga) oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri. Dia adalah
tokoh utama perang Al Qadisiyah melawan Persia. Namun demikian, itu semua tidak
membuatnya malu untuk tetap romantis dengan isterinya. Walau pun dia sedang
berpuasa, tidak menghalanginya untuk mubasyarah dengan isterinya.
Imam
Ibnu Hazm Al Andalusi berkata:
" و من طريق صحاح عن
سعد بن أبي وقاص أنه سئل أتقبل و أنت صائم ؟
قال : نعم ، و أقبض على
متاعها
“Dari jalan yang shahih
dari Sa’ad bin Abi Waqqash, bahwa dia ditanya: “Apakah engkau mencium (isteri)
ketika sedang puasa?” Dia menjawab: “Ya, bahkan aku menggenggam kemaluannya
segala.” (Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, 6/212. Darul Fikr. Tahqiq:
Ustadz Ahmad Muhammad Syakir)
Perbuatan Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu
Dia ahli membaca Al Qur’an dan
tafsirnya, dan menjadi manusia pertama yang berani membaca Al Qur’an di depan
ka’bah ketika masa-masa awal Islam.
عَنْ عَمْرِو بن
شُرَحْبِيلَ،"إِنَّ ابْنَ مَسْعُودٍ كَانَ يُبَاشِرُ امْرَأَتَهُ نِصْفَ
النَّهَارِ، وَهُوَ صَائِمٌ".
“Dari ‘Amru bin
Syurahbil: “Sesungguhnya Ibnu Mas’ud pernah mubasyarah dengan isterinya
pada tengah siang, padahal dia sedang
puasa.” (HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Kabir, No. 9573. Imam Abdurrazzaq, Al Mushannaf,
Juz. 4, Hal. 191, No. 8442. Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, Juz. 6, Hal.
212. Katanya: “Ini adalah jalan yang paling shahih dari Ibnu Mas’ud.”)
Semua atsar (riwayat)
di atas, baik Ibnu Abbas, Sa’ad bin Abi Waqqash, dan Ibnu Mas’ud adalah shahih, maka
bersenang-senang dengan isteri ketika berpuasa adalah boleh, namun
bagi orang yang tidak mampu meredam hawa nafsunya, lebih baik ditinggalkan.
Tetapi, kita tidak dibenarkan mengingkari pendapat yang memakruhkan mencium
isteri atau lebih dari itu, sebab para ulama yang memakruhkan itu juga para
imam agama yang mendalam ilmunya (lihat pembahasan dari Syaikh Sayyid Sabiq
sebelumnya).
Pendapat Abdullah bin Abbas Radhiallahu ‘Anhu
Beliau adalah maha gurunya para mufassir
(ahli tafsir). Ia dijuluki Hibrul Ummah (tintanya umat ini).
Dan dia memiliki pandangan yang amat moderat dalam hal ini.
Imam Ibnu Hazm Rahimahullah meriwayatkan:
عن سعيد بن جبير أن رجلا قال لابن عباس : إني تزوجت ابنة عم لي جميلة ، فبني بي في رمضان ، فهل لي - بأبي أنت و أمي - إلى قبلتها من
سبيل ؟ فقال له ابن عباس : هل تملك
نفسك ؟ قال : نعم ، قال : قبل ، قال : فبأبي أنت و أمي هل
إلى مباشرتها من سبيل ؟ ! قال : هل تملك نفسك ؟ قال : نعم ، قال :
فباشرها ، قال : فهل لي أن
أضرب بيدي على فرجها من سبيل ؟ قال : و هل تملك نفسك؟ قال : نعم ، قال : اضرب .
" و هذه أصح طريق عن ابن عباس " .
“
Dari Said bin Jubeir bahwa ada seorang laki-laki berkata kepada Ibnu Abbas:
‘Aku menikahi seorang putrid anak paman saya, ia seorang yang cantik. Saya
membawanya pada bulan Ramdhan. Maka bolehkah bagi saya menciumnya?’ maka Ibnu
Abbas menjawab: “Apakah engkau bisa menahan hawa nafsu?’ dia menjawab: ‘Ya,’
Ibnu
Abbas berkata: “Ciumlah!”
Laki-laki
itu betanya lagi: ‘Bolehkah saya bercumbu dengannya?’
Ibnu
Abbas bertanya: ‘Bisakah engkau meredam nafsumu?’
Laki-laki
itu menjawab: ‘Ya.’
Ibnu
Abbas berkata: ‘Bercumbulah.”
Laki-laki
itu bertanya lagi: ‘Bolehkah tangan saya memegang kemaluannya?’
Ibnu
Abbas bertanya: ‘Bisakah engkau meredam nafsumu?’
Laki-laki
itu menjawab: ‘Ya.’
Ibnu
Abbas berkata: ‘Peganglah.”
Ibnu
Hazm berkata: “Ini adalah sanad yang paling shahih dari Ibnu Abbas.” (Imam Ibnu Hazm, Al
Muhalla, Juz. 6, Hal. 212 Darul
Fikr)
Komentar Al ‘Allamah al Muhaddits Muhammad
Nashiruddn Al Albani Rahimahullah
Beliau menguatkan
riwayat-riwayat di atas, baginya kebolehan mencium bahkan mubasyarah dengan
isteri adalah pendapat yang lebih kuat, walau sebaiknya dihindarkan bagi yang
tidak mampu meredam hawa nafsu.
أثر ابن مسعود هذا أخرجه
ابن أبي شيبة ( 2 / 167 / 2 ) بسند صحيح على شرطهما ،
و أثر سعد هو عنده بلفظ " قال : نعم و آخذ بجهازها " و سنده صحيح على شرط مسلم ، و أثر ابن عباس عنده أيضا و لكنه مختصر بلفظ : " فرخص له في القبلة و المباشرة و وضع اليد ما لم يعده إلى
غيره " . و سنده صحيح على شرط
البخاري . و روى ابن أبي شيبة ( 2 /
170 / 1 ) عن عمرو بن هرم قال : سئل جابر بن زيد عن رجل نظر
إلى امرأته في رمضان فأمنى من شهوتها هل يفطر ؟ قال : لا
، و يتم صومه " . و ترجم ابن خزيمة للحديث بقوله
: " باب الرخصة في
المباشرة التي هي دون الجماع للصائم ، و الدليل على أن اسم الواحد قد يقع على فعلين أحدهما مباح ، و الآخر محظور " .
“Atsar (segala perbuatan dan perkataan
sahabat dan tabi’in) dari Ibnu Mas’ud ini telah juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi
Syaibah (2/167) dengan sanad yang shahih, sesuai syarat Bukhari dan
Muslim. Sedangkan atsar dari Sa’ad bin Abi Waqqash juga diriwayatkan
Ibnu Abi Syaibah dengan redaksi: “Benar, bahkan aku memegang juga
kemaluannya.” Sanad ini shahih, sesuai syarat Imam Muslim. Sedangkan atsar Ibnu Abbas oleh Ibnu Abi Syaibah juga disebutkannya,
tetapi dengan redaksi yang agak ringkas, yakni:
“Dia
(Ibnu Abbas) memberikan keringanan kepada orang itu (yang bertanya) untuk
mencium isterinya, bermubasyarah, dan meletakkan tangannya di atas kemaluan
isterinya, selama tidak mendorongnya untuk melakukan hal yang lebih dari itu.”
Sanad
atsar ini shahih sesuai syarat Bukhari. Ibnu Abi
Syaibah (2/170/1) meriwayatkan dari Amru
bin Haram: bahwa Jabir bin Zaid ditanya tentang laki-laki yang melihat
isterinya pada bulan Ramadhan sampai keluar mani-nya karena syahwatnya, apakah
batal puasanya? Beliau menjawab: “Tidak, hendaknya dia menyempurnakan
puasanya.”
Hadits
ini juga disebutkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah, dalam pokok bahasan:
“Bab
rukhshah (keringanan) dalam bermubasyarah (bercumbu) yang tanpa disertai jima’
(setubuh) bagi orang yang berpuasa.”
Disertai
pula dalil mengenai satu kata yang bisa menghasilkan dua macam perbuatan, ada
yang mengatakannya mubah (boleh) dan yang lainnya mengatakan mahzhur (terlarang).
(Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albany, Silsilah Ash Shahihah, Juz.
1, Hal. 220, No. 221)
Riwayat-riwayat
shahih ini menunjukkan bahwa mencium isteri adalah mubah, bahkan ada yang
melakukan ‘lebih’, selama tidak sampai
jima’. Itulah yang dilakukan para sahabat nabi yang paling tahu tentang Islam
dan paling bisa menahan diri.
Demikianlah hal-hal
yang diperbolehkan bagi orang yang puasa. Namun demikian, bukan berarti hal-hal
di atas menjadi sebuah kelaziman bagi para shaimin, sehingga mereka menganggap
ringan hal ini. Sebab, menahan dari dari hal-hal yang bisa merusak kualitas
puasa adalah hal yang utama, walau belum tentu perbuatan itu membatalkan puasa
atau dibenci. Wallahu A’lam
B. Al Makruhat (Hal-hal yang dibenci)
Ini
lebih sedikit, yang pada dasarnya karena dzari’ah (tindakan
preventif) demi menjaga kualitas puasa di sisi Allah Ta’ala.
1.
Berendam secara berlebihan
(sudah dibahas di atas)
2.
Kumur-kumur dan menghirup
air ke rongga hidung secara berlebihan (sudah dibahas di atas)
3.
Berbekam hingga membuat
lemah badan (sudah dibahas di atas)
4.
Mencium isteri hingga
melahirkan syahwat yang tidak terkendali (sudah dibahas di atas)
5.
Tidur berlebihan
Hadits-hadits tentang ‘Tidurnya orang
berpuasa adalah ibadah’ tidaklah valid, alias dhaif. Berikut
pembahasannya:
عن عبد الله بن أبي أوفى ، قال : قال
رسول الله صلى الله عليه وسلم : « نوم الصائم عبادة ، وصمته تسبيح ، وعمله مضاعف ،
ودعاؤه مستجاب ، وذنبه مغفور »
Dari Abdullah bin Abi Aufa, dia
berkata: bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah, diamnya adalah tasbih, amalnya
dilipatgandakan, doanya dikabulkan, dan dosanya diampunkan.” (HR. Al
Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 3937)
Dalam
sanad hadits ini diriwayatkan oleh Ma’ruf bin Hisan dan Sulaiman bin
Amru an Nakha’i.
Imam
Al Baihaqi
berkata tentang mereka berdua:
معروف بن حسان ضعيف
وسليمان بن عمرو النخعي أضعف منه
“Ma’ruf bin Hisan adalah dha’if, dan Sulaiman bin ‘Amru an
Nakha’i, lebih dha’if darinya.” (Syu’abul Iman
No. 3939)
Dalam
Takhrijul Ihya’ disebutkan:
وفيه سليمان بن عمرو النخعي
أحد الكذابين .
“Dalam
hadits ini terdapat Sulaiman bin ‘Amru an Nakha’i, salah seorang pendusta.” (Imam
Zainuddin al ‘Iraqi, Takhrijul Ihya’, Juz. 2, Hal. 23, No. 723)
Syaikh
al Albany mendha’ifkan
hadits ini. (Lihat Shahih wa Dha’if Jami’ush Shaghir, Juz. 26, Hal.
384,No. 12740)
Hadits lainnya:
الصائم في عبادة و إن كان
راقدا على فراشه
“Orang
yang berpuasa senantiasa dinilai ibadah, walau pun sedang berbaring di atas
ranjangnya.”
Berkata
Syaikh Al Albani Rahimahullah:
ضعيف . رواه تمام ( 18 /
172 - 173 ) : أخبرنا أبو بكر يحيى بن عبد الله بن الزجاج
قال : حدثنا أبو بكر محمد بن هارون بن محمد بن بكار بن بلال : حدثنا سليمان بن عبد الرحمن : حدثنا هاشم بن أبي هريرة الحمصي عن هشام بن
حسان عن ابن سيرين عن سلمان بن عامر
الضبي مرفوعا . و هذا سند ضعيف يحيى الزجاج و محمد بن هارون
لم أجد من ذكرهما . و بقية رجاله ثقات غير هاشم بن أبي هريرة الحمصي ترجمه ابن أبي حاتم ( 4 / 2 / 105 ) و لم يذكر فيه جرحا و لا تعديلا
. قال : "و اسم أبي هريرة عيسى بن بشير " . و أورده في " الميزان
" و قال : " لا يعرف ، قال العقيلي : منكر الحديث
" . و الحديث أورده السيوطي في " الجامع الصغير " برواية الديلمي في " مسند الفردوس " عن أنس . و تعقبه
المناوي بقوله : " و فيه محمد بن أحمد بن سهل ، قال
الذهبي في " الضعفاء " : قال ابن عدي : [ هو ] ممن يضع الحديث " .
Diriwayatkan
oleh Tamam (18/172-173): Telah mengabarkan kepada kami Abu Bakar Yahya
bin Abdullah bin Az Zujaj, dia berkata: berkata kepadaku Abu Bakar Muhammad bin
Harun bin Muhammad bin Bakar bin Bilal, berkata kepadaku Sulaiman bin
Abdurrahman, berkata kepadaku Hasyim bin Abi Hurairah al Himshi, dari Hisyam
bin Hisan, dari Ibnu Sirin, dari Salman bin ‘Amir adh dhabi secara marfu’.
Sanad ini dha’if karena
Yahya az Zujaj dan Muhammad bin Harun tidak saya (Syaikh al Albany) temukan
biografinya tentang mereka berdua. Sedangkan yang lainnya tsiqat
(terpercaya), kecuali Hasyim bin Abi
Hurairah al Himshi, Imam Abu Hatim (4/2/105)
telah menulis tentangnya tetapi tidak memberikan pujian atau kritik
atasnya. Dia berkata: “Nama asli dari Abi Hurairah al Himshi adalah ‘Isa bin
Basyir.” Dalam Al Mizan disebutkan
tentang dia: “Tidak diketahui.” Berkata Al ‘Uqaili: “Munkarul
hadits.’ Hadits ini juga ada dalam
Jami’ush Shaghir-nya Imam As Suyuthi, diriwayatkan oleh Ad
Dailami dalam Musnad al Firdaus dari jalur Anas bin Malik. Al
Munawi ikut menerangkan dengan
ucapannya: “Di dalamnya terdapat Muhammad bin Ahmad bin Sahl, berkata Adz
Dzahabi dalam Adh Dhu’afa: berkata Ibnu ‘Adi: “Dia (Muhammad bin
Ahmad binSahl) termasuk di antara pemalsu hadits.” (Syaikh Muhammad
Nashiruddin al Albany, Silsilah Adh Dha’ifah, Juz. 2, Hal. 230, No hadits.
653)
Catatan:
Dengan
demikian, memastikan bahwa tidurnya orang berpuasa adalah sebagai ibadah
merupakan pemahaman yang tidak berdasar. Tidur, kapan pun kita lakukan, baik
ketika puasa atau tidak, jika dilatarbelakangi oleh niat yang mulia yakni
menghindar hal-hal yang tidak bermanfaat, mengumpukan tenaga untuk bisa
melakukan ketaatan, dan lain-lain, maka itu semua bernilai ibadah walau tidak sedang
puasa, demikianlah tidurnya orang-orang shalih.
Sebaliknya
walau pun sedang puasa, namun tidurnya diniatkan untuk ‘menghindar’ rasa lapar
sampai-sampai ia meninggalkan hal-hal yang lebih utama karena tidurnya, dan hal
ini menunjukkan kemalasannya, maka sama sekali tidak bernilai ibadah. Jadi
ibadah atau tidaknya tidur seseorang, dilihat dari apa yang melatarbelakangi
atau motivasi dari tidurnya. Selesai.
Wallahu
A’lam
0 komentar:
Posting Komentar