Kamis, 08 November 2012

Dikira Hadits Padahal Bukan 3




Oleh: Farid Nu’man

1.       Hadits: “Hikmah adalah kepunyaan orang mukmin yang hilang, di mana saja dia menemukannya maka dialah yang paling berhak memilikinya.”

Hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi dalam sunannya, pada Bab Maa Ja’a fil Fadhli Fiqh ‘alal ‘Ibadah, No. 2828. Dengan sanad: Berkata kepada kami Muhammad bin Umar Al Walid Al Kindi, bercerita kepada kami Abdullah bin Numair,  dari Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi, dari Sa’id Al Maqbari, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda: .... ( lalu disebut hadits di atas).

  Imam At Tirmidzi mengomentari hadits tersebut: “Hadits ini gharib (menyendiri dalam periwayatannya), kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur ini. Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi adalah seorang yang dhaif fil hadits (lemah dalam hadits).”

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, Kitab Az Zuhud Bab Al Hikmah, No. 4169. Dalam sanadnya juga terdapat Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi.

Imam Ibnu Hajar mengatakan, bahwa Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi adalah Abu Ishaq Al Madini, dia seorang yang Fahisyul Khatha’ (buruk kesalahannya). (Al Hafizh Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, 1/14. Mawqi’ Al Warraq). Sementara Imam Yahya bin Ma’in menyebutnya sebagai Laisa bi Syai’ (bukan apa-apa). (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 1/105. Mawqi’ Ya’sub)

Sederetan para Imam Ahli hadits telah mendhaifkannya. Imam Ahmad mengatakan: dhaiful hadits laisa biqawwi fil hadits (haditsnya lemah, tidak kuat haditsnya). Imam Abu Zur’ah mengatakan: dhaif. Imam Abu Hatim mengatakan: dhaiful hadits munkarul hadits (hadisnya lemah dan munkar). Imam bukhari mengatakan: munkarul hadits. Imam An Nasa’i mengatakan: munkarul hadits, dia berkata ditempat lain: tidak bisa dipercaya, dan haditsnya tidak boleh ditulis. Abu Al Hakim mengatakan: laisa bil qawwi ‘indahum (tidak kuat menurut mereka/para ulama). Ibnu ‘Adi mengatakan: dhaif dan haditsnya boleh ditulis, tetapi menurutku tidak boleh berdalil dengan hadits darinya.

Ya’qub bin Sufyan mengatakan bahwa hadits tentang “Hikmah” di atas adalah hadits Ibrahim bin Al Fadhl yang dikenal dan diingkari para ulama. Imam Ibnu Hibban menyebutnya fahisyul khatha’ (buruk kesalahannya).  Imam Ad Daruquthni mengatakan: matruk (haditsnya ditinggalkan), begitu pula menurut Al Azdi. (Lihat semua dalam karya Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 1/131. Darul Fikr. Lihat juga Al Hafizh Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, 2/43. Muasasah Ar Risalah. Lihat juga Imam Adz Dzahabi, Mizan Al I’tidal, 1/52. Darul Ma’rifah. Lihat juga Imam Abu Hatim Ar Razi, Al Jarh wat Ta’dil, 2/122. Dar Ihya At Turats. Lihat juga Imam Ibnu ‘Adi Al Jurjani, Al Kamil fidh Dhu’afa, 1/230-231. Darul Fikr. Imam Al ‘Uqaili, Adh Dhuafa Al Kabir, 1/60. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Syaikh Al Albani pun telah menyatakan bahwa  hadits ini dhaif jiddan (sangat lemah), lantaran Ibrahim ini. (Dhaiful Jami’ No. 4302. Dhaif Sunan At Tirmidzi, 1/320)

Ada pula yang serupa dengan hadits di atas:

الحكمة ضالة المؤمن حيث ما وجد المؤمن ضاله فليجمعها إليه

“Hikmah adalah kepunyaan orang mukmin yang hilang, di mana saja seorang mukmin menemukan miliknya yang hilang, maka hendaknya ia menghimpunkannya kepadanya.”

Imam As Sakhawi mengatakan, hadits ini diriwayatkan oleh Al Qudha’i dalam Musnadnya, dari hadits Al Laits, dari Hisyam bin Sa’ad, dari Zaid bin Aslam, secara marfu’. Hadits ini mursal. (Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, 1/105. Imam Al ‘Ajluni, Kasyful Khafa’, 1/363) 

Hadits mursal adalah hadits yang gugur di akhir sanadnya, seseorang setelah tabi’in. Kita lihat, riwayat Al Qudha’i ini, Zaid bin Aslam adalah seorang tabi’in, seharusnya dia meriwayatkan dari seorang sahabat nabi, namun sanad hadits ini tidak demikian, hanya terhenti pada Zaid bin Aslam tanpa melalui sahabat nabi. Inilah mursal. Jumhur (mayoritas) ulama dan Asy Syafi’i mendhaifkan hadits mursal.

Ada pula dengan redaksi yang agak berbeda, bukan menyebut Hikmah, tetapi Ilmu. Diriwayatkan oleh Al ‘Askari, dari ‘Anbasah bin Abdurrahman, dari Syubaib bin Bisyr, dari Anas bin Malik secara marfu’:

العلم ضالة المؤمن حيث وجده أخذه

“Ilmu adalah barang mukmin yang hilang, dimana saja dia menemukannya maka dia mengambilnya.”

Riwayat ini juga dhaif. ‘Anbasah bin Abdurrahman adalah seorang yang matruk (ditinggal haditsnya), dan Abu Hatim menyebutnya sebagai pemalsu hadits. (Taqribut Tahdzib, 1/758)

Ibnu Abi Hatim bertanya kepada ayahnya (Abu Hatim) tentang ‘Anbasah bin Abdurrahman, beliau menjawab: matruk dan memalsukan hadits. Selain itu, Abu Zur’ah juga ditanya, jawabnya: munkarul hadits wahil hadits (haditsnya munkar dan lemah). (Al Jarh wat Ta’dil, 6/403)

Ada pun Syubaib bin Bisyr, walau pun Yanya bin Ma’in menilainya tsiqah (bisa dipercaya), namun Abu Hatim dan lain-lainnya mengatakan: layyinul hadits. (haditsnya lemah). (Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, 2/262)

Ada pula riwayat dari Sulaiman bin Mu’adz, dari Simak, dari ‘ikrimah, dari Ibnu Abbas, di antara perkataannya:

خذوا الحكمة ممن سمعتموها، فإنه قد يقول الحكمة غير الحكيم، وتكون الرمية من غير رام

“Ambillah hikmah dari siapa saja kalian mendengarkannya, bisa jadi ada perkataan hikmah yang diucapkan oleh orang yang tidak bijak, dan  dia menjadi anak panah yang bukan berasal dari pemanah.”

Ucapan ini juga dhaif. Lantaran kelemahan Sulaiman bin Muadz.  

Yahya bin Main mengatakan tentang dia: laisa bi syai’ (bukan apa-apa). Abbas mengatakan, bahwa Ibnu Main mengatakan: dia adalah lemah. Abu Hatim mengatakan: laisa bil matin (tidak kokoh). Ahmad menyatakannya tsiqah (bisa dipercaya). Ibnu Hibban mengatakan: dia adalah seorang rafidhah (syiah) ekstrim, selain itu dia juga suka menterbalikan hadits. An Nasai mengatakan: laisa bil qawwi (tidak kuat). (Mizanul I’tidal, 2/219)

Catatan:

Walaupun ucapan ini dhaif, tidak ada yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Namun, secara makna adalah shahih. Orang beriman boleh memanfaatkan ilmu dan kemajuan yang ada pada orang lain, sebab hakikatnya dialah yang paling berhak memilikinya. Oleh karena itu, ucapan ini tenar dan sering diulang dalam berbagai kitab para ulama. Lebih tepatnya, ucapan ini adalah ucapan dari beberapa para sahabat dan tabi’in dengan lafaz yang berbeda-beda.

Dari Al Hasan bin Shalih, dari ‘Ikrimah, dengan lafaznya:

خذ الحكمة ممن سمعت، فإن الرجل يتكلم بالحكمة، وليس بحكيم، فتكون كالرمية، خرجت من غير رام

“Ambil-lah hikmah dari siapa pun yang engkau dengar, sesungguhnya ada seorang laki-laki yang berbicara dengan hikmah padahal dia bukan seorang yang bijak, dia menjadi bagaikan lemparan panah yang keluar dari orang yang bukan pemanah.” (Al Maqashid Al Hasanah, 1/105)

Ucapan ini adalah shahih dari ‘Ikrimah, seorang tabi’in senior, murid Ibnu Abbas. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, Al Hasan bin Shalih bin Shalih bin Hay adalah seorang tsiqah, ahli ibadah, faqih, hanya saja dia dituduh tasyayyu’ (agak condong ke syi’ah). (Taqribut Tahdzib,  1/205)

Waki’ mengatakan Al Hasan bin Shalih adalah seseorang yang jika kau melihatnya kau akan ingat dengan Said bin Jubeir.  Abu Nu’aim Al Ashbahani mengatakan aku telah mencatat hadits dari 800 ahli hadits, dan tidak satu pun yang lebih utama darinya. Abu Ghasan mengatakan, Al Hasan bin Shalih lebih baik dari Syuraik. Sedangkan  Ibnu ‘Adi mengatakan, sebuah kaum menceritakan bahwa hadits yang diriwayatkan darinya adalah mustaqimah, tak satu pun yang munkar, dan menurutnya Al Hasan bin Shalih adalah seorang yang ahlush shidqi (jujur lagi benar).  Ibnu Hibban mengatakan, Al Hasan bin Shalih adalah seorang yang faqih, wara’, pakaiannya lusuh dan kasar, hidupnya diisi dengan ibadah, dan agak terpengaruh syi’ah (yakni  tidak meyakini adanya shalat Jumat). Abu Nu’aim mengatakan bahwa Ibnul Mubarak mengatakan Al Hasan bin Shalih tidak shalat Jumat, sementara Abu Nu’aim menyaksikan bahwa beliau shalat Jum’at.  Ibnu Sa’ad mengatakan dia adalah seorang ahli ibadah, faqih, dan hujjah dalam hadits shahih, dan agak tasyayyu’. As Saji mengatakan Al Hasan bin Shalih adalah seorang shaduq (jujur). Yahya bin Said mengatakan, tak ada yang sepertinya di Sakkah. Diceritakan dari Yahya bin Ma’in, bahwa Al Hasan bin Shalih adalah tsiqatun tsiqah (kepercayaannya orang terpercaya). (Tahdzibut Tahdzib, 2/250-251)

Hanya saja Sufyan Ats Tsauri memiliki pendapat yang buruk tentangnya. Beliau pernah berjumpa dengan Al Hasan bin Shalih di masjid pada hari Jum’at, ketika Al Hasan bin Shalih sedang shalat, Ats Tsauri berkata: “Aku berlindung kepada Allah dari khusyu’ yang nifaq.” Lalu dia mengambil sendalnya dan berlalu. Hal ini lantaran Al Hasan bin Shalih –menurut At Tsauri- adalah seseorang yang membolehkan mengangkat pedang kepada penguasa (memberontak). (Ibid, 2/249) Namun, jarh (kritik) ini  tidak menodai ketsiqahannya, lantaran ulama yang menta’dil (memuji) sangat banyak.

Selain itu, telah shahih dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

العلم ضالة المؤمن فخذوه ولو من أيدي المشركين ولا يأنف أحدكم أن يأخذ الحكمة ممن سمعها منه
“Ilmu adalah barang mukmin yang hilang, maka ambil-lah walau berada di tangan orang-orang musyrik, dan janganlah kalian menjauhkan  diri untuk mengambil hikmah itu dari orang-orang yang mendengarkannya.” (Ibnu Abdil Bar, Jami’  Bayan Al ilmi wa Fadhlihi, 1/482. Mawqi’ Jami Al Hadits)

Selesai.

2.       Ucapan: “Barangsiapa yang harinya sama dengan kemarin maka dia berada dalam kekurangan/aib/cela.”

من كان يومه مثل أمسه فهو في نقصان

                “Barangsiapa yang harinya sama dengan kemarin maka dia berada dalam kekurangan/aib/cela.”

                Ucapan ini sangat terkenal. Dikutip dari lisan ke lisan, tersebar dalam berbagai kesempatan ceramah keagamaan. Kebanyakan mereka mengatakan Rasulullah bersada, padahal ini bukan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

                Ini adalah ucapan Abu Sulaiman Ad Darani, seorang sufi generasi pertama, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Abu Nu’aim Al Ashbahani dalam Hilyatul Auliya’ (4/177. Mawqi’ Al Warraq), Imam Abul Faraj bin Al Jauzi dalam Shifatush Shafwah (1/469. Mawqi’ Al Warraq).

3.       Ucapan: “Kita kembali dari jihad kecil menuju jihad besar.”
                Ini hadits, walau tidak secara langsung berhubungan dengan puasa atau Ramadhan, namun amat sering dibaca ketika bulan Ramadhan.  Hadits itu berbunyi:
رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبرقالوا: وما الجهاد الأكبر؟ قال: جهاد القلب.

                “Kita kembali dari Jihad kecil menuju jihad besar.” Mereka bertanya: “Apakah jihad paling besar itu?” Beliau bersabda: “Jihad hati.”
                Berkata Imam Zainuddin Al ‘Iraqi:
أخرجه البيهقي في الزهد من حديث جابر وقال : هذا إسناد فيه ضعف .

Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam kitab az Zuhd dari hadits Jabir, dia berkata: “Di dalam sanadnya dha’if.” (Imam Al ‘Iraqi, Takhrijul Ahadits Al Ihya’, No. 2567)
Begitu pula disebutkan dalam  Tadzkirah Al Maudhu’at, bahwa hadits ini dhaif. ( Al ‘Allamah Muhammad Thahir bin Ali Al Hindi Al Fatani, Tadzkirah Al Maudhu’at, Hal. 191)
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Tasdidul Qaus bahwa ini adalah ucapan Ibrahim bin Abi ‘Ablah seorang tabi’in, sebagaimana dikatakan Imam An Nasa’i dalam Al Kuna. (Imam As Suyuthi, Ad Durar Muntatsirah fil Ahadits Musytahirah, Al ‘Ajluni, Hal. 11. Mawqi’ Al Warraq. Imam Al Ajluni,  Kasyful Khafa, No. 1362. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan komentar terhadap hadits itu sebagai berikut:
فَلَا أَصْلَ لَهُ وَلَمْ يَرْوِهِ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْمَعْرِفَةِ بِأَقْوَالِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَفْعَالِهِ وَجِهَادُ الْكُفَّارِ مِنْ أَعْظَمِ الْأَعْمَالِ ؛ بَلْ هُوَ أَفْضَلُ مَا تَطَوَّعَ بِهِ الْإِنْسَانُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : { لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا }
                “Tidak ada dasarnya, dan tidak diriwayatkan oleh seorang pun ahli ma’rifah (ulama) sebagai ucapan dan perbuatan Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam. Dan, jihad melawan orang kafir termasuk amal yang paling agung, bahkan dia adalah tathawwu’ (anjuran) yang paling utama bagi manusia. Allah Ta’ala berfirman: “Tidaklah sama orang-orang beriman yang duduk (tidak pergi jihad) tanpa memiliki udzur (alasan yang benar), dibanding orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya. Allah mengutamakan satu derajat bagi orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya di atas orang-orang yang duduk saja. Kepada masing-masing mereka Allah menjajnjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang duduk dengan pahala yang besar.” (QS. An Nisa: 95). (Majmu’ Fatawa, 2/487. Mawqi’ Al Islam)
Imam Al ‘Iraqi mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi dalam kitab Az Zuhd, namun setelah dicek ke kitab Zuhd Al Kabir-nya Imam Al Baihaqi, ternyata tidak ada hadits dengan redaksi seperti di atas (Kita kembali dari jihad kecil menuju jihad besar). Tetapi yang ada adalah:

قدمتم خير مقدم من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر . قالوا : وما الجهاد الأكبر ؟ قال : مجاهدة العبد هواه
               
“Kalian datang dengan sebaik-baik kedatangan, kalian datang dari jihad kecil menuju jihad besar.” Mereka bertanya: “Apakah jihda besar itu?” Beliau bersabda: “Mujahadahnya seorang hamba terhadap hawa nafsunya.” (HR. Al Baihaqi, Zuhd Al Kabir, No. 384, hadits dari Jabir bin Abdullah. Al Baihaqi mengatakan: sanadnya Dhaif . Imam Khathib Baghdadi, Tarikh Baghdad, 6/171.  Lihat Alauddin Muttaqi Al Hindi,  Kanzul ‘Ummal, No. 11260)

Hadits ini juga dhaif, bahkan dengan kedhaifan yang parah. Lantaran dalam sanadnya terdapat beberapa perawi yang dhaif. Yakni ‘Isa bin Ibrahim, Yahya bin Ya’la, dan Laits bin Abi Sulaim.

Tentang ‘Isa bin Ibrahim ini, dia adalah ‘Isa bin Ibrahim bin Siyar, disebut juga Ibnu Dinar Asy Sya’iri Abu Ishaq, disebut juga Abu Umar, ada juga yang mengatakan Abu Yahya Al Bashri, lebih dikenal dengan Al Barki. (Tahdzibut Tahdzib, 8/183).       Disebutkan tentang dia : shaduq lahu awham (jujur tetapi ada keraguan). (Al Hafizh Ibnu Hajar, Taqribut Tahdzib, 1/768. Al Hafizh Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, 3/310). Abu Hatim mengatakan: shaduq (jujur). An Nasa’i mengatakan: tidak apa-apa. (Mizanul I’tidal, 3/310)

Sementara Yahya bin Ya’la, dia adalah   Yahya bin Ya’la Al Aslami Al Qathuwani Al Kufi.  Imam  Ibnu Ma’in ditanya tentang dia, katanya: bukan apa-apa. Al Bukhari mengatakan: mudhtharibul hadits (haditsnya guncang). Abu Hatim mengatakan: dhaiful hadits laisa bil qawwi (haditsnya lemah dan tidak kuat). Ibnu Abi mengatakan, dia adalah orang Kufah dan Syi’ah. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzbut Tahdzib, 11/266. Lihat juga Mizanul I’tidal, 4/415)   

Ada pun tentang Laits bin Abi Sulaim, Imam Ahmad berkata tentangnya: “sangat lemah dan banyak kesalahan.”  Yahya bin Ma’in mengatakan: dhaif. (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 2/232). Sufyan bin ‘Uyainah mendhaifkannya, sedangkan Abu Zur’ah ditanya tentang Laits ini, katanya: “haditsnya lemah dan tidak bisa berhujjah dengan haditsnya.” (Tahdzibut Tahdzib, 8/418)

Maka, jelaslah sudah kelemahan hadits ini, dengan kelemahan yang sangat. Dan, Syaikh Al Albani mengatakannya sebagai hadits munkar. (As Silsilah Adh Dha’ifah, No. 2460).

Wallahu A’lam

Catatan:

Walau hadits-hadits di atas lemah, bahkan tidak ada dasarnya. Islam mengakui bahwa jihad terhadap hawa nafsu memang ada. Dari Fadhalah bin ‘Ubaid, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

 المجاهد من جاهد نفسه
                “Mujahid adalah orang yang berjihad terhadap hawa nafsunya.” (HR. At Tirmidzi No. 1621, katanya: hasan shahih. Abu Daud No. 1258)

                Hadits ini shahih. (Misykah Al Mashabih No. 3823. As Silsilah Ash Shahihah No. 549. Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 1258)

                Perlu diketahui, kelemahan hadits-hadits tentang jihad melawan hawa nafsu yang kita bahas lalu  (bahkan tidak ada dasarnya), tidak berarti mengurangi derajat jihad melawan hawa nafsu. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:
               
وَلَا رَيْبَ أَنَّ مُجَاهَدَةَ النَّفْسِ مَأْمُورٌ بِهَا وَكَذَلِكَ قَهْرُ الْهَوَى وَالشَّهْوَةِ كَمَا ثَبَتَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : { الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي ذَاتِ اللَّهِ وَالْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ } لَكِنْ الْمُسْلِمَ الْمُتَّبِعَ لِشَرِيعَةِ الْإِسْلَامِ هُوَ الْمُحَرِّمُ مَا حَرَّمَهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ فَلَا يُحَرِّمُ الْحَلَالَ وَلَا يُسْرِفُ فِي تَنَاوُلِهِ ؛ بَلْ يَتَنَاوَلُ مَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ مِنْ طَعَامٍ أَوْ لِبَاسٍ أَوْ نِكَاحٍ وَيَقْتَصِدُ فِي ذَلِكَ وَيَقْتَصِدُ فِي الْعِبَادَةِ ؛ فَلَا يُحَمِّلُ نَفْسَهُ مَا لَا تُطِيقُ .
               
                “Tidak diragukan bahwa berjihad mengendalikan diri adalah diperintahkan, begitu pula menguasai hawa nafsu dan syahwat. Sebagaimana telah tsabit (kuat) dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa dia bersabda:
                “Mujahid adalah orang yang berjihad melawan nafsunya di jalan Allah, dan orang pintar adalah orang mampu menguasai dirinya dan berbuat untuk hari setelah kematiannya, dan orang lemah adalah orang yang jiwanya mengikuti hawa nafsunya, dan berangan-angan kepada Allah.”
                Tetapi seorang muslim hanya mengikuti syariat Islam, dia mengharamkan apa yang Allah dan RasulNya haramkan, dia tidak mengharamkan yang halal dan tidak berlebihan dalam menikmatinya, tetapi dia menggunakannya sesuai kebutuhan saja baik berupa makanan, nikah, dia sederhana dalam hal itu, dan sederhana pula dalam hal ibadah, dia tidak membebani dirinya dengan apa-apa yang tidak dia mampu.”          (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 3/302)
Bahkan seorang ulama mujahid, perawi hadits terpercaya, Imam Abdullah bin Mubarak mengomentari ayat:
وَجَاهِدُوا فِي اللّهِ حَقّ جِهَادِه
                “Berjihadlah kalian di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad.”
                Beliau berkata:
هُوَ مُجَاهَدَةُ النّفْسِ وَالْهَوَى
                “Itu adalah berjihad  terhadap jiwa dan hawa nafsu.”   (Imam Ibnu Qayyim, Zaadul Ma’ad, 3/8. Muasasah Ar Risalah).
                Imam Ibnul Qayyim sendiri telah membahas panjang masalah ini, dan dia membuat maratibul jihad (urutan jihad) bahwa jihad ada empat urutan, yakni jihad  terhadap hawa nafsu, jihad melawan syetan, jihad melawan orang kafir dan jihad melawan orang munafik.  Jihad terhadap hawa nafsu juga terbagi atas empat, yakni: Pertama,  jihad untuk mempelajari petunjuk dan agama yang benar. Kedua, jihad mengamalkan ilmu tersebut. Ketiga, jihad mendakwahkan dan mengajarkan ilmu tersebut agar tidak termasuk orang yang menyembunyikan ilmu. Keempat, jihad bersabar ketika mendakwahkannya atas segala bentuk kesulitan dan peneritaan yang akan menimpanya.  (Ibid, 3/9) selesai.
Ada pun riwayat yang shahih tentang jihad yang paling afdhal adalah sebagai berikut, dari Abu Said Al Khudri, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ
                “Jihad paling utama adalah mengutarakan  perkataan yang adil di depan penguasa yang zalim atau pemimpin yang zalim.” (HR. Abu Daud No. 4344. At Tirmidzi No. 2265, katanya: hasan gharib. Ahmad No. 10716, dalam  lafaz Ahmad tertulis: “Kalimatul haq ..(perkataan yang benar). Ibnu Majah No. 4011)

                Hadits ini shahih. (Misykah Al Mashabih, No. 3705. As Silsilah Ash Shahihah, No. 491. Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 4344)

                Sedangkan jihad paling utama  bagi wanita adalah haji yang mabrur. Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:

يَا رَسُولَ اللَّهِ نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ أَفَلَا نُجَاهِدُ قَالَ لَا لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ
          “Ya Rasulullah, kami melihat jihad adalah amal yang paling utama, apakah kami juga boleh berjihad?” Nabi bersabda: “Tidak, tetapi sebaik-baiknya jihad adalah haji yang mabrur.” (HR. Bukhari No. 1448, 1762, 2632, 2720, 2721)

                 Wallahu A’lam


4.       Hadits: “Shalat adalah tiang agama ..”

Dari ‘Ikrimah, dari Umar, bahwa ada seorang laki-laki datang kepad Rasulullah lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, hal apakah dalam Islam yang paling Allah sukai?” Rasulullah menjawab:

الصلاة لوقتها ، ومن ترك الصلاة فلا دين له ، والصلاة عماد الدين
                “Shalat pada waktunya, dan barangsiapa yang meninggalkan shalat maka tidak ada agama baginya, dan shalat adalah tiang agama.” (HR. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 2683, dan Al Baihaqi mengatakan: Abu Abdillah (Al Hakim) mengatakan: “Ikrimah tidak mendengarnya dari Umar, aku kira maksudnya adalah Ibnu Umar.” Lihat juga, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Umal, No. 19582)

                Jika benar ikrimah dari Umar, maka hadits ini munqathi’ (terputus sanadnya), sebab Ikrimah tidak sezaman dengan Umar bin Al Khathab.

                Al ‘Allamah Muhammad bin Thahir Al Hindi Al Fatani mengatakan dhaif. (Tadzkirah Al Maudhu’at, Hal. 38)
               
Imam As Sakhawi mengatakan bahwa ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi, dan sanad hadits ini dhaif, dan gurunya, Al Hakim, mengatakan, bahwa ‘Ikrimah tidak mendengarnya dari Umar, mungkin maksudnya adalah Ibnu ‘Umar. Pengarang Al Wasith mengatakan, bahwa Ibnu Shalah tidak mengomentari hadits ini. Sementara dalam Musykilul Wasith disebutkan bahwa hadits ini tidak dikenal (ghairu ma’ruf). Berkata An Nawawi dalam At Tanqih: hadits ini munkar bathil. (Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 144. Mawqi’ Al Warraq. Lihat juga Imam Al ‘Iraqi, Takhrijul Ahadits Al Ihya’, 1/368)

          Apa yang dikatakan oleh Imam An Nawawi dianggap berlebihan. Al Munawi mengatakan bahwa Ibnu Haj telah membantahnya, bahwa hadits ini hanya dhaif  dan terputus saja, bukan bathil. (Al ‘Ajluni, Kasyful Khafa, 2/31)

                Begitu pula Al Hafizh Ibnu Hajar mengomentari Imam An Nawawi, katanya: “Tidaklah demikian, bahkan Abu Nu’aim, Syaikhnya Bukhari, meriwayatkan dalam Kitabush Shalah, dari Habib bin Sulaim, dari Bilal bin Yahya, dia berkata: “Datang seorang laki-laki kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan bertanya, maka beliau bersabda: “Ash Shalatu ‘Umududdin.” (Shalat adalah tiang-tiang agama). Hadits ini mursal, dan perawinya terpercaya. (Al Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish Al Habir, 1/446. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Lihat juga Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 144)

                Namun demikian hadits ini memang dhaif, walau tidak seperti yang dikatakan oleh Imam An Nawawi. Syaikh Al Albani juga mendhaifkannya. (Dhaiful Jami’ No. 170)

                Ada juga riwayat lain, dari Ad Dailami, dari Ali secara marfu’, yang berbunyi:

الصلاة عماد الدين والجهاد سنام العمل والزكاة بين ذلك

                “Shalat adalah tiang agama, jihad adalah puncaknya amal, dan zakat di antara keduanya.”

                Riwayat ini dhaif jiddan (sangat lemah). (As Silsilah Adh Dhaifah Mukhtasharah, No. 3805)

                Catatan:

                Walau riwayat-riwayat seperti ini adalah dhaif. Namun, adalah BENAR bahwa shalat sebagai tiang agama. Ini ditegaskan oleh riwayat lainnya yang  shahih dari Imam At Tirmidzi, berikut:

                Dari Muadz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أَلَا أُخْبِرُكَ بِرَأْسِ الْأَمْرِ كُلِّهِ وَعَمُودِهِ وَذِرْوَةِ سَنَامِهِ قُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ

                “Ketahuilah, akan aku beritahukan kepadamu tentang kepala segala urusan, tiang-tiangnya, dan puncak punuknya.” Aku berkata: “Tentu ya Rasulullah.” Rasulullah bersabda: “Kepalanya urusan adalah Islam, tiang-tiangnya adalah shalat, dan puncak dari punuknya adalah jihad.” (HR. At Tirmidzi No. 2749, katanya: hasan shahih) 

                Hadits ini shahih. (Syaikh Al Albani, Shahih Wa Dhaif Sunan At Tirmdzi, No. 2616). Wallahu A’lam

Bersambung .... (Insya Allah)

0 komentar:

Posting Komentar