|
|
Oleh: Farid Nu’man
1.
Hadits: “Hikmah
adalah kepunyaan orang mukmin yang hilang, di mana saja dia menemukannya maka
dialah yang paling berhak memilikinya.”
Hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh Imam
At Tirmidzi dalam sunannya, pada Bab Maa Ja’a fil Fadhli Fiqh ‘alal
‘Ibadah, No. 2828. Dengan sanad: Berkata kepada kami Muhammad bin Umar
Al Walid Al Kindi, bercerita kepada kami Abdullah bin Numair, dari Ibrahim
bin Al Fadhl Al Makhzumi, dari Sa’id Al Maqbari, dari Abu Hurairah, bahwa
Rasulullah bersabda: .... ( lalu disebut hadits di atas).
Imam At Tirmidzi
mengomentari hadits tersebut: “Hadits ini gharib (menyendiri dalam periwayatannya), kami tidak mengetahuinya
kecuali dari jalur ini. Ibrahim bin Al Fadhl Al
Makhzumi adalah seorang yang dhaif fil hadits (lemah dalam
hadits).”
Hadits ini juga
diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, Kitab Az Zuhud Bab Al Hikmah, No.
4169. Dalam sanadnya juga terdapat Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi.
Imam Ibnu Hajar
mengatakan, bahwa Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi adalah Abu Ishaq Al Madini,
dia seorang yang Fahisyul Khatha’ (buruk kesalahannya). (Al Hafizh Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, 1/14. Mawqi’ Al Warraq).
Sementara Imam Yahya bin Ma’in menyebutnya sebagai Laisa bi Syai’
(bukan apa-apa). (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 1/105. Mawqi’
Ya’sub)
Sederetan para Imam Ahli hadits telah mendhaifkannya.
Imam Ahmad mengatakan: dhaiful hadits laisa biqawwi fil hadits (haditsnya
lemah, tidak kuat haditsnya). Imam Abu Zur’ah mengatakan: dhaif. Imam
Abu Hatim mengatakan: dhaiful hadits munkarul hadits (hadisnya lemah dan
munkar). Imam bukhari mengatakan: munkarul hadits. Imam An Nasa’i
mengatakan: munkarul hadits, dia berkata ditempat lain: tidak bisa
dipercaya, dan haditsnya tidak boleh ditulis. Abu Al Hakim mengatakan: laisa
bil qawwi ‘indahum (tidak kuat menurut mereka/para ulama). Ibnu ‘Adi
mengatakan: dhaif dan haditsnya boleh ditulis, tetapi menurutku tidak
boleh berdalil dengan hadits darinya.
Ya’qub bin Sufyan mengatakan bahwa hadits tentang
“Hikmah” di atas adalah hadits Ibrahim bin Al Fadhl yang dikenal dan diingkari
para ulama. Imam Ibnu Hibban menyebutnya fahisyul khatha’ (buruk
kesalahannya). Imam Ad Daruquthni mengatakan: matruk (haditsnya
ditinggalkan), begitu pula menurut Al Azdi. (Lihat semua dalam karya Al
Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 1/131. Darul Fikr. Lihat juga Al
Hafizh Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, 2/43. Muasasah Ar Risalah. Lihat juga
Imam Adz Dzahabi, Mizan Al I’tidal, 1/52. Darul Ma’rifah. Lihat juga
Imam Abu Hatim Ar Razi, Al Jarh wat Ta’dil, 2/122. Dar Ihya At Turats.
Lihat juga Imam Ibnu ‘Adi Al Jurjani, Al Kamil fidh Dhu’afa, 1/230-231.
Darul Fikr. Imam Al ‘Uqaili, Adh Dhuafa Al Kabir, 1/60. Darul Kutub Al
‘Ilmiyah)
Syaikh Al Albani pun telah menyatakan bahwa
hadits ini dhaif jiddan (sangat lemah), lantaran Ibrahim ini. (Dhaiful
Jami’ No. 4302. Dhaif Sunan At Tirmidzi, 1/320)
Ada pula yang serupa dengan hadits di atas:
الحكمة
ضالة المؤمن حيث ما وجد المؤمن ضاله فليجمعها إليه
“Hikmah adalah kepunyaan orang mukmin yang
hilang, di mana saja seorang mukmin menemukan miliknya yang hilang, maka
hendaknya ia menghimpunkannya kepadanya.”
Imam As Sakhawi mengatakan, hadits ini diriwayatkan
oleh Al Qudha’i dalam Musnadnya, dari hadits Al Laits, dari Hisyam bin
Sa’ad, dari Zaid bin Aslam, secara marfu’. Hadits ini mursal. (Imam
As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, 1/105. Imam Al ‘Ajluni, Kasyful
Khafa’, 1/363)
Hadits mursal adalah hadits yang gugur di akhir
sanadnya, seseorang setelah tabi’in. Kita lihat, riwayat Al Qudha’i ini, Zaid
bin Aslam adalah seorang tabi’in, seharusnya dia meriwayatkan dari seorang
sahabat nabi, namun sanad hadits ini tidak demikian, hanya terhenti pada Zaid
bin Aslam tanpa melalui sahabat nabi. Inilah mursal. Jumhur (mayoritas)
ulama dan Asy Syafi’i mendhaifkan hadits mursal.
Ada pula dengan redaksi yang agak berbeda, bukan
menyebut Hikmah, tetapi Ilmu. Diriwayatkan oleh Al ‘Askari, dari ‘Anbasah
bin Abdurrahman, dari Syubaib bin Bisyr, dari Anas bin Malik secara marfu’:
العلم
ضالة المؤمن حيث وجده أخذه
“Ilmu adalah barang mukmin yang hilang,
dimana saja dia menemukannya maka dia mengambilnya.”
Riwayat ini juga dhaif. ‘Anbasah bin
Abdurrahman adalah seorang yang matruk (ditinggal haditsnya), dan Abu
Hatim menyebutnya sebagai pemalsu hadits. (Taqribut Tahdzib, 1/758)
Ibnu Abi Hatim bertanya kepada ayahnya (Abu Hatim)
tentang ‘Anbasah bin Abdurrahman, beliau menjawab: matruk dan memalsukan
hadits. Selain itu, Abu Zur’ah juga ditanya, jawabnya: munkarul hadits wahil
hadits (haditsnya munkar dan lemah). (Al Jarh wat Ta’dil, 6/403)
Ada pun Syubaib bin Bisyr, walau pun Yanya bin Ma’in
menilainya tsiqah (bisa dipercaya), namun Abu Hatim dan lain-lainnya
mengatakan: layyinul hadits. (haditsnya lemah). (Imam Adz Dzahabi, Mizanul
I’tidal, 2/262)
Ada pula riwayat dari Sulaiman bin Mu’adz, dari
Simak, dari ‘ikrimah, dari Ibnu Abbas, di antara perkataannya:
خذوا
الحكمة ممن سمعتموها، فإنه قد يقول الحكمة غير الحكيم، وتكون الرمية من غير رام
“Ambillah hikmah dari siapa saja kalian
mendengarkannya, bisa jadi ada perkataan hikmah yang diucapkan oleh orang yang
tidak bijak, dan dia menjadi anak panah yang bukan berasal dari pemanah.”
Ucapan ini juga dhaif. Lantaran kelemahan Sulaiman
bin Muadz.
Yahya bin Main mengatakan tentang dia: laisa bi
syai’ (bukan apa-apa). Abbas mengatakan, bahwa Ibnu Main mengatakan: dia
adalah lemah. Abu Hatim mengatakan: laisa bil matin (tidak kokoh). Ahmad
menyatakannya tsiqah (bisa dipercaya). Ibnu Hibban mengatakan: dia
adalah seorang rafidhah (syiah) ekstrim, selain itu dia juga suka
menterbalikan hadits. An Nasai mengatakan: laisa bil qawwi (tidak kuat).
(Mizanul I’tidal, 2/219)
Catatan:
Walaupun ucapan ini dhaif, tidak ada yang
shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Namun, secara
makna adalah shahih. Orang beriman boleh memanfaatkan ilmu dan kemajuan
yang ada pada orang lain, sebab hakikatnya dialah yang paling berhak
memilikinya. Oleh karena itu, ucapan ini tenar dan sering diulang dalam
berbagai kitab para ulama. Lebih tepatnya, ucapan ini adalah ucapan dari
beberapa para sahabat dan tabi’in dengan lafaz yang berbeda-beda.
Dari Al Hasan bin Shalih, dari ‘Ikrimah, dengan
lafaznya:
خذ الحكمة ممن
سمعت، فإن الرجل يتكلم بالحكمة، وليس بحكيم، فتكون كالرمية، خرجت من غير رام
“Ambil-lah hikmah dari siapa pun yang
engkau dengar, sesungguhnya ada seorang laki-laki yang berbicara dengan hikmah
padahal dia bukan seorang yang bijak, dia menjadi bagaikan lemparan panah yang
keluar dari orang yang bukan pemanah.” (Al Maqashid Al Hasanah, 1/105)
Ucapan ini adalah shahih dari ‘Ikrimah, seorang
tabi’in senior, murid Ibnu Abbas. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, Al
Hasan bin Shalih bin Shalih bin Hay adalah seorang tsiqah, ahli ibadah,
faqih, hanya saja dia dituduh tasyayyu’ (agak condong ke syi’ah). (Taqribut
Tahdzib, 1/205)
Waki’ mengatakan Al Hasan bin Shalih adalah seseorang
yang jika kau melihatnya kau akan ingat dengan Said bin Jubeir. Abu
Nu’aim Al Ashbahani mengatakan aku telah mencatat hadits dari 800 ahli hadits,
dan tidak satu pun yang lebih utama darinya. Abu Ghasan mengatakan, Al Hasan
bin Shalih lebih baik dari Syuraik. Sedangkan Ibnu ‘Adi mengatakan,
sebuah kaum menceritakan bahwa hadits yang diriwayatkan darinya adalah mustaqimah,
tak satu pun yang munkar, dan menurutnya Al Hasan bin Shalih adalah seorang
yang ahlush shidqi (jujur lagi benar). Ibnu Hibban mengatakan, Al
Hasan bin Shalih adalah seorang yang faqih, wara’, pakaiannya lusuh dan kasar,
hidupnya diisi dengan ibadah, dan agak terpengaruh syi’ah (yakni tidak
meyakini adanya shalat Jumat). Abu Nu’aim mengatakan bahwa Ibnul Mubarak
mengatakan Al Hasan bin Shalih tidak shalat Jumat, sementara Abu Nu’aim
menyaksikan bahwa beliau shalat Jum’at. Ibnu Sa’ad mengatakan dia adalah
seorang ahli ibadah, faqih, dan hujjah dalam hadits shahih, dan agak tasyayyu’.
As Saji mengatakan Al Hasan bin Shalih adalah seorang shaduq (jujur).
Yahya bin Said mengatakan, tak ada yang sepertinya di Sakkah. Diceritakan dari
Yahya bin Ma’in, bahwa Al Hasan bin Shalih adalah tsiqatun tsiqah (kepercayaannya
orang terpercaya). (Tahdzibut Tahdzib, 2/250-251)
Hanya saja Sufyan Ats Tsauri memiliki pendapat yang
buruk tentangnya. Beliau pernah berjumpa dengan Al Hasan bin Shalih di masjid
pada hari Jum’at, ketika Al Hasan bin Shalih sedang shalat, Ats Tsauri berkata:
“Aku berlindung kepada Allah dari khusyu’ yang nifaq.” Lalu dia mengambil
sendalnya dan berlalu. Hal ini lantaran Al Hasan bin Shalih –menurut At Tsauri-
adalah seseorang yang membolehkan mengangkat pedang kepada penguasa
(memberontak). (Ibid, 2/249) Namun, jarh (kritik) ini
tidak menodai ketsiqahannya, lantaran ulama yang menta’dil
(memuji) sangat banyak.
Selain itu, telah shahih dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu
‘Anhu, katanya:
العلم ضالة
المؤمن فخذوه ولو من أيدي المشركين ولا يأنف أحدكم أن يأخذ الحكمة ممن سمعها منه
“Ilmu adalah barang mukmin yang hilang, maka ambil-lah
walau berada di tangan orang-orang musyrik, dan janganlah kalian
menjauhkan diri untuk mengambil hikmah itu dari orang-orang yang
mendengarkannya.” (Ibnu Abdil Bar, Jami’ Bayan Al ilmi wa Fadhlihi,
1/482. Mawqi’ Jami Al Hadits)
Selesai.
2.
Ucapan: “Barangsiapa yang harinya
sama dengan kemarin maka dia berada dalam kekurangan/aib/cela.”
من كان يومه
مثل أمسه فهو في نقصان
“Barangsiapa yang harinya sama dengan kemarin maka dia berada dalam
kekurangan/aib/cela.”
Ucapan ini sangat terkenal. Dikutip dari lisan ke lisan, tersebar dalam
berbagai kesempatan ceramah keagamaan. Kebanyakan mereka mengatakan Rasulullah
bersada, padahal ini bukan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam.
Ini adalah ucapan Abu Sulaiman Ad Darani, seorang sufi generasi pertama,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Abu Nu’aim Al Ashbahani dalam Hilyatul
Auliya’ (4/177. Mawqi’ Al Warraq), Imam Abul Faraj bin Al Jauzi dalam Shifatush
Shafwah (1/469. Mawqi’ Al Warraq).
3.
Ucapan: “Kita kembali dari jihad
kecil menuju jihad besar.”
Ini hadits, walau tidak secara
langsung berhubungan dengan puasa atau Ramadhan, namun amat sering dibaca
ketika bulan Ramadhan. Hadits itu berbunyi:
رجعنا
من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبرقالوا: وما الجهاد
الأكبر؟ قال: جهاد القلب.
“Kita kembali dari Jihad kecil menuju jihad besar.” Mereka bertanya:
“Apakah jihad paling besar itu?” Beliau bersabda: “Jihad hati.”
Berkata Imam Zainuddin Al ‘Iraqi:
أخرجه البيهقي في الزهد من حديث جابر وقال : هذا إسناد فيه ضعف .
Diriwayatkan
oleh Al Baihaqi dalam kitab az Zuhd dari hadits Jabir, dia
berkata: “Di dalam sanadnya dha’if.” (Imam Al ‘Iraqi, Takhrijul
Ahadits Al Ihya’, No. 2567)
Begitu
pula disebutkan dalam Tadzkirah Al Maudhu’at, bahwa hadits
ini dhaif. ( Al ‘Allamah Muhammad Thahir bin Ali Al Hindi Al Fatani, Tadzkirah
Al Maudhu’at, Hal. 191)
Al
Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Tasdidul
Qaus bahwa ini adalah ucapan Ibrahim bin Abi ‘Ablah seorang tabi’in,
sebagaimana dikatakan Imam An Nasa’i dalam Al Kuna. (Imam As Suyuthi,
Ad Durar Muntatsirah fil Ahadits Musytahirah, Al ‘Ajluni, Hal. 11.
Mawqi’ Al Warraq. Imam Al Ajluni, Kasyful Khafa, No. 1362. Darul
Kutub Al ‘Ilmiyah)
Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah memberikan
komentar terhadap hadits itu sebagai berikut:
فَلَا أَصْلَ لَهُ وَلَمْ يَرْوِهِ أَحَدٌ
مِنْ أَهْلِ الْمَعْرِفَةِ بِأَقْوَالِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ وَأَفْعَالِهِ وَجِهَادُ الْكُفَّارِ مِنْ أَعْظَمِ الْأَعْمَالِ ؛ بَلْ
هُوَ أَفْضَلُ مَا تَطَوَّعَ بِهِ الْإِنْسَانُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : { لَا
يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ
وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ
اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ
دَرَجَةً وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ
عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا }
“Tidak ada dasarnya, dan tidak diriwayatkan oleh seorang pun ahli ma’rifah
(ulama) sebagai ucapan dan perbuatan Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam.
Dan, jihad melawan orang kafir termasuk amal yang paling agung, bahkan dia
adalah tathawwu’ (anjuran) yang paling utama bagi manusia. Allah Ta’ala
berfirman: “Tidaklah sama orang-orang beriman yang duduk (tidak pergi jihad)
tanpa memiliki udzur (alasan yang benar), dibanding orang-orang yang berjihad
dengan harta dan jiwanya. Allah mengutamakan satu derajat bagi orang-orang yang
berjihad dengan harta dan jiwanya di atas orang-orang yang duduk saja. Kepada
masing-masing mereka Allah menjajnjikan pahala yang baik (surga) dan Allah
melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang duduk dengan pahala
yang besar.” (QS. An Nisa: 95). (Majmu’ Fatawa, 2/487. Mawqi’ Al
Islam)
Imam Al ‘Iraqi mengatakan bahwa hadits ini
diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi dalam kitab Az Zuhd, namun
setelah dicek ke kitab Zuhd Al Kabir-nya Imam Al Baihaqi,
ternyata tidak ada hadits dengan redaksi seperti di atas (Kita kembali dari
jihad kecil menuju jihad besar). Tetapi yang ada adalah:
قدمتم خير مقدم
من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر . قالوا : وما الجهاد الأكبر ؟ قال : مجاهدة
العبد هواه
“Kalian datang dengan sebaik-baik
kedatangan, kalian datang dari jihad kecil menuju jihad besar.” Mereka
bertanya: “Apakah jihda besar itu?” Beliau bersabda: “Mujahadahnya seorang
hamba terhadap hawa nafsunya.” (HR. Al Baihaqi, Zuhd Al Kabir, No.
384, hadits dari Jabir bin Abdullah. Al Baihaqi mengatakan: sanadnya Dhaif .
Imam Khathib Baghdadi, Tarikh Baghdad, 6/171. Lihat
Alauddin Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Ummal, No. 11260)
Hadits ini juga dhaif, bahkan dengan
kedhaifan yang parah. Lantaran dalam sanadnya terdapat beberapa perawi yang dhaif.
Yakni ‘Isa bin Ibrahim, Yahya bin Ya’la, dan Laits bin Abi
Sulaim.
Tentang ‘Isa bin Ibrahim ini, dia adalah ‘Isa
bin Ibrahim bin Siyar, disebut juga Ibnu Dinar Asy Sya’iri Abu Ishaq, disebut
juga Abu Umar, ada juga yang mengatakan Abu Yahya Al Bashri, lebih dikenal
dengan Al Barki. (Tahdzibut Tahdzib, 8/183). Disebutkan
tentang dia : shaduq lahu awham (jujur tetapi ada keraguan). (Al
Hafizh Ibnu Hajar, Taqribut Tahdzib, 1/768. Al Hafizh Adz Dzahabi, Mizanul
I’tidal, 3/310). Abu Hatim mengatakan: shaduq (jujur). An Nasa’i
mengatakan: tidak apa-apa. (Mizanul I’tidal, 3/310)
Sementara Yahya bin Ya’la, dia adalah Yahya
bin Ya’la Al Aslami Al Qathuwani Al Kufi. Imam Ibnu Ma’in
ditanya tentang dia, katanya: bukan apa-apa. Al Bukhari mengatakan:
mudhtharibul hadits (haditsnya guncang). Abu Hatim mengatakan: dhaiful
hadits laisa bil qawwi (haditsnya lemah dan tidak kuat). Ibnu Abi
mengatakan, dia adalah orang Kufah dan Syi’ah. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzbut
Tahdzib, 11/266. Lihat juga Mizanul I’tidal, 4/415)
Ada pun tentang Laits bin Abi Sulaim, Imam
Ahmad berkata tentangnya: “sangat lemah dan banyak kesalahan.” Yahya
bin Ma’in mengatakan: dhaif. (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin,
2/232). Sufyan bin ‘Uyainah mendhaifkannya, sedangkan Abu Zur’ah ditanya
tentang Laits ini, katanya: “haditsnya lemah dan tidak bisa berhujjah dengan
haditsnya.” (Tahdzibut Tahdzib, 8/418)
Maka, jelaslah sudah kelemahan hadits ini, dengan
kelemahan yang sangat. Dan, Syaikh Al Albani mengatakannya sebagai hadits munkar.
(As Silsilah Adh Dha’ifah, No. 2460).
Wallahu A’lam
Catatan:
Walau hadits-hadits di atas
lemah, bahkan tidak ada dasarnya. Islam mengakui bahwa jihad terhadap hawa
nafsu memang ada. Dari Fadhalah bin ‘Ubaid, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
المجاهد من جاهد نفسه
“Mujahid adalah orang yang berjihad
terhadap hawa nafsunya.” (HR. At Tirmidzi No. 1621, katanya: hasan shahih.
Abu Daud No. 1258)
Hadits ini shahih. (Misykah
Al Mashabih No. 3823. As Silsilah Ash Shahihah No. 549. Shahih wa
Dhaif Sunan Abi Daud No. 1258)
Perlu diketahui, kelemahan
hadits-hadits tentang jihad melawan hawa nafsu yang kita bahas lalu
(bahkan tidak ada dasarnya), tidak berarti mengurangi derajat jihad
melawan hawa nafsu. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:
وَلَا
رَيْبَ أَنَّ مُجَاهَدَةَ النَّفْسِ مَأْمُورٌ بِهَا وَكَذَلِكَ قَهْرُ الْهَوَى
وَالشَّهْوَةِ كَمَا ثَبَتَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
أَنَّهُ قَالَ : { الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي ذَاتِ اللَّهِ
وَالْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ
مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ } لَكِنْ الْمُسْلِمَ
الْمُتَّبِعَ لِشَرِيعَةِ الْإِسْلَامِ هُوَ الْمُحَرِّمُ مَا حَرَّمَهُ اللَّهُ
وَرَسُولُهُ فَلَا يُحَرِّمُ الْحَلَالَ وَلَا يُسْرِفُ فِي تَنَاوُلِهِ ؛ بَلْ
يَتَنَاوَلُ مَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ مِنْ طَعَامٍ أَوْ لِبَاسٍ أَوْ نِكَاحٍ
وَيَقْتَصِدُ فِي ذَلِكَ وَيَقْتَصِدُ فِي الْعِبَادَةِ ؛ فَلَا يُحَمِّلُ
نَفْسَهُ مَا لَا تُطِيقُ .
“Tidak diragukan bahwa berjihad mengendalikan diri adalah diperintahkan, begitu
pula menguasai hawa nafsu dan syahwat. Sebagaimana telah tsabit (kuat)
dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa dia bersabda:
“Mujahid adalah orang yang berjihad melawan nafsunya di jalan Allah, dan orang
pintar adalah orang mampu menguasai dirinya dan berbuat untuk hari setelah
kematiannya, dan orang lemah adalah orang yang jiwanya mengikuti hawa nafsunya,
dan berangan-angan kepada Allah.”
Tetapi seorang muslim hanya mengikuti syariat Islam, dia mengharamkan apa yang
Allah dan RasulNya haramkan, dia tidak mengharamkan yang halal dan tidak
berlebihan dalam menikmatinya, tetapi dia menggunakannya sesuai kebutuhan saja
baik berupa makanan, nikah, dia sederhana dalam hal itu, dan sederhana pula
dalam hal ibadah, dia tidak membebani dirinya dengan apa-apa yang tidak dia
mampu.”
(Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 3/302)
Bahkan
seorang ulama mujahid, perawi hadits terpercaya, Imam Abdullah bin Mubarak mengomentari
ayat:
وَجَاهِدُوا فِي اللّهِ حَقّ جِهَادِه
“Berjihadlah kalian di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad.”
Beliau berkata:
هُوَ مُجَاهَدَةُ النّفْسِ وَالْهَوَى
“Itu adalah berjihad terhadap jiwa dan hawa nafsu.” (Imam Ibnu Qayyim, Zaadul
Ma’ad, 3/8. Muasasah Ar Risalah).
Imam Ibnul Qayyim sendiri telah membahas panjang masalah ini, dan dia membuat maratibul
jihad (urutan jihad) bahwa jihad ada empat urutan, yakni jihad terhadap
hawa nafsu, jihad melawan syetan, jihad melawan orang kafir dan jihad melawan
orang munafik. Jihad terhadap hawa nafsu juga terbagi atas empat, yakni: Pertama,
jihad untuk mempelajari petunjuk dan agama yang benar. Kedua,
jihad mengamalkan ilmu tersebut. Ketiga, jihad mendakwahkan dan
mengajarkan ilmu tersebut agar tidak termasuk orang yang menyembunyikan ilmu. Keempat,
jihad bersabar ketika mendakwahkannya atas segala bentuk kesulitan dan
peneritaan yang akan menimpanya. (Ibid, 3/9) selesai.
Ada pun riwayat yang shahih tentang jihad yang
paling afdhal adalah sebagai berikut, dari Abu Said Al Khudri, bahwa Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَفْضَلُ
الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ
“Jihad paling utama adalah mengutarakan perkataan yang adil di depan
penguasa yang zalim atau pemimpin yang zalim.” (HR. Abu Daud No. 4344. At
Tirmidzi No. 2265, katanya: hasan gharib. Ahmad No. 10716, dalam
lafaz Ahmad tertulis: “Kalimatul haq ..(perkataan yang benar). Ibnu
Majah No. 4011)
Hadits ini shahih. (Misykah Al Mashabih, No. 3705. As
Silsilah Ash Shahihah, No. 491. Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No.
4344)
Sedangkan jihad paling utama bagi wanita adalah haji yang mabrur. Dari
Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:
يَا
رَسُولَ اللَّهِ نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ أَفَلَا نُجَاهِدُ قَالَ لَا
لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ
“Ya Rasulullah, kami melihat jihad adalah
amal yang paling utama, apakah kami juga boleh berjihad?” Nabi bersabda:
“Tidak, tetapi sebaik-baiknya jihad adalah haji yang mabrur.” (HR. Bukhari
No. 1448, 1762, 2632, 2720, 2721)
Wallahu A’lam
4. Hadits: “Shalat adalah tiang agama ..”
Dari ‘Ikrimah, dari Umar,
bahwa ada seorang laki-laki datang kepad Rasulullah lalu bertanya: “Wahai
Rasulullah, hal apakah dalam Islam yang paling Allah sukai?” Rasulullah
menjawab:
الصلاة
لوقتها ، ومن ترك الصلاة فلا دين له ، والصلاة عماد الدين
“Shalat pada waktunya, dan
barangsiapa yang meninggalkan shalat maka tidak ada agama baginya, dan shalat
adalah tiang agama.” (HR. Al
Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 2683, dan Al Baihaqi mengatakan: Abu
Abdillah (Al Hakim) mengatakan: “Ikrimah tidak mendengarnya dari Umar, aku
kira maksudnya adalah Ibnu Umar.” Lihat juga, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi,
Kanzul ‘Umal, No. 19582)
Jika benar ikrimah dari Umar, maka
hadits ini munqathi’ (terputus sanadnya), sebab Ikrimah tidak
sezaman dengan Umar bin Al Khathab.
Al ‘Allamah Muhammad bin Thahir Al Hindi Al Fatani mengatakan dhaif. (Tadzkirah
Al Maudhu’at, Hal. 38)
Imam As Sakhawi mengatakan
bahwa ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi, dan sanad hadits ini dhaif, dan
gurunya, Al Hakim, mengatakan, bahwa ‘Ikrimah tidak mendengarnya dari Umar,
mungkin maksudnya adalah Ibnu ‘Umar. Pengarang Al Wasith mengatakan,
bahwa Ibnu Shalah tidak mengomentari hadits ini. Sementara dalam Musykilul
Wasith disebutkan bahwa hadits ini tidak dikenal (ghairu ma’ruf).
Berkata An Nawawi dalam At Tanqih: hadits ini munkar bathil.
(Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 144. Mawqi’ Al Warraq.
Lihat juga Imam Al ‘Iraqi, Takhrijul Ahadits Al Ihya’, 1/368)
Apa yang dikatakan oleh Imam An
Nawawi dianggap berlebihan. Al Munawi mengatakan bahwa Ibnu Haj telah
membantahnya, bahwa hadits ini hanya dhaif dan terputus saja,
bukan bathil. (Al ‘Ajluni, Kasyful Khafa, 2/31)
Begitu pula Al Hafizh Ibnu Hajar
mengomentari Imam An Nawawi, katanya: “Tidaklah demikian, bahkan Abu Nu’aim,
Syaikhnya Bukhari, meriwayatkan dalam Kitabush Shalah, dari Habib bin
Sulaim, dari Bilal bin Yahya, dia berkata: “Datang seorang laki-laki kepada
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan bertanya, maka beliau bersabda: “Ash
Shalatu ‘Umududdin.” (Shalat adalah tiang-tiang agama). Hadits ini mursal,
dan perawinya terpercaya. (Al Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish Al Habir,
1/446. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Lihat juga Al Maqashid Al Hasanah, Hal.
144)
Namun demikian hadits ini memang dhaif, walau tidak seperti yang
dikatakan oleh Imam An Nawawi. Syaikh Al Albani juga mendhaifkannya. (Dhaiful
Jami’ No. 170)
Ada juga riwayat lain, dari Ad
Dailami, dari Ali secara marfu’, yang berbunyi:
الصلاة
عماد الدين والجهاد سنام العمل والزكاة بين ذلك
“Shalat adalah tiang agama, jihad adalah puncaknya amal, dan zakat di antara
keduanya.”
Riwayat ini dhaif jiddan (sangat lemah). (As Silsilah Adh Dhaifah
Mukhtasharah, No. 3805)
Catatan:
Walau riwayat-riwayat seperti ini adalah dhaif. Namun, adalah BENAR
bahwa shalat sebagai tiang agama. Ini ditegaskan oleh riwayat lainnya yang shahih
dari Imam At Tirmidzi, berikut:
Dari Muadz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
أَلَا
أُخْبِرُكَ بِرَأْسِ الْأَمْرِ كُلِّهِ وَعَمُودِهِ وَذِرْوَةِ سَنَامِهِ قُلْتُ
بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ وَعَمُودُهُ
الصَّلَاةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ
“Ketahuilah, akan aku beritahukan kepadamu tentang kepala segala urusan, tiang-tiangnya,
dan puncak punuknya.” Aku berkata: “Tentu ya Rasulullah.” Rasulullah bersabda:
“Kepalanya urusan adalah Islam, tiang-tiangnya adalah shalat, dan puncak dari
punuknya adalah jihad.” (HR. At Tirmidzi No. 2749, katanya: hasan shahih)
Hadits ini shahih. (Syaikh Al Albani, Shahih Wa Dhaif Sunan At
Tirmdzi, No. 2616). Wallahu A’lam
Bersambung
.... (Insya Allah)
0 komentar:
Posting Komentar