Kamis, 08 November 2012

Dikira Hadits Padahal Bukan 1


Oleh: Farid Nu’man

Mukadimah
           As Sunnah An Nabawiyah merupakan salah satu marja’ (referensi) tertinggi umat Islam setelah Al Quran. Allah Ta’ala pun memerintahkan agar kita menjadikan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai pedoman hidup umat Islam bersama Al Quran. Bahkan berpaling dari As Sunnah merupakan salah satu bentuk kekufuran dan membawa malapetaka bagi pelakunya.
“Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir" (QS. Ali Imran (3): 32)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (QS. An Nisa’ (4): 59)
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. Ali Imran (3): 65)
 “.. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.” (QS. Al Hasyr (59): 7)
 “Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul, takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An Nur (24): 63)
 Namun, diantara manusia ada yang seperti mencari kayu bakar di malam hari. Tidak bisa membedakan mana kayu bakar, mana akar basah. Tidak bisa membedakan, atau terkecoh dengan ucapan manusia, pepatah, hikayat, lalu disandarkan sebagai ucapan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Lalu hal itu tersebar dari lisan ke lisan, dari buku ke buku, dan dari ceramah ke ceramah, dan manusia saling mengutip satu sama lain. Sayangnya, mereka tanpa mau tahu dan peduli, kebenaran dan keaslian ucapan tersebut adalah hadits nabi atau bukan. Tetapi, Allah Ta’ala telah menjanjikan bahwa agama ini akan terjaga dan terpelihara. Terjaga dan terpeliharanya agama ini, tentunya membawa konsekuensi terjaganya pula sumber-sumber agama, yakni Al Quran dan As Sunnah karena keduanya tidak bisa dipisahkan.
Berikut akan saya paparkan ucapan yang tenar di lisan manusia, lalu mereka menganggapnya sebagai hadits.
  1. Ucapan: Kebersihan Sebagian Dari Iman (An Nazhafatu minal Iman)
Ucapan ini sangat terkenal dan dibuat dalam bentuk stiker, hiasan dinding, slogan, dan lainnya. Lalu mereka menyebutnya sebagai sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Hadits ini dhaif jiddan (sangat lemah).
Imam Al ‘Iraqi, ketika membahas Buniya Ad Din ‘alan Nazhafah (Agama di bangun di atas Kebersihan), beliau berkata:
لم أجده هكذا ، وفي الضعفاء لابن حبان من حديث عائشة " تنظفوا فإن الإسلام نظيف " والطبراني في الأوسط بسند ضعيف جدا من حديث ابن مسعود " النظافة من الإيمان " .

“Belum saya temukan hadits seperti ini. Dalam kitab Adh Dhu’afa karya Imam Ibnu Hibban terdapat hadits dari ‘Aisyah: “Bersih bersihlah karena Islam itu bersih.” Dan oleh Imam Ath Thabarani dalam kitab Al Awsath, dengan sanad dhaif jiddan (sangat lemah) dari hadits Ibnu Mas’ud: “Kebersihan sebagian dari Iman.” (Takhrijul Ahadits Ihya’, No. 278)
Lajnah Da’imah (semacam komisi Fatwa) di Kerajaan Saudi Arabia, yang di ketuai saat itu oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah, pernah ditanya tentang status hadits ini. Mereka menjawab:
ما ذكرته من الجمل ليست بأحاديث عن النبي صلى الله عليه وسلم، وإنما هي كلمات جرت على ألسنة الناس.

“Apa yang Anda sebutkan secara global, bukanlah hadits dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, itu hanyalah perkataan yang meluncur dari lisan manusia.” (Fatawa Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiah wal Ifta’, pertanyaan  No. 5729. Cet. 1. Riasah Idarat Al Buhuts Al ‘Ilmiah wal ifta’. Riyadh)
Catatan:
Walau pun ucapan ini bukanlah hadits. Namun, Islam adalah agama cinta kebersihan dan keindahan. Hal ini ditegaskan dalam hadits-hadits shahih sebagai berikut:
Dari Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ
           “Sesungguhnya Allah itu indah, dan mencintai keindahan.” (HR. Muslim, Bab Tahrim Al Kibr wa Bayanihi, No. 91. At Tirmdzi, Bab Maa Ja’a fi Al Kibr, No. 2067. Katanya: hasan shahih gharib. Ahmad No. 3600. Ibnu Hibban, Bab  No. 5466)
           Juga, dari Abu Malik Al Asy’ari Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
الطُّهُورُ شَطْرُ الْإِيمَانِ
           “Kesucian adalah sebagian dari iman.” (HR. Muslim, Bab Fadhl Al Wudhu, No. 223. Ahmad No. 21834. Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, No. 3. Ad Darimi No. 653)
           Hadits ini memiliki perbedaan makna dengan, “Kebersihan sebagian dari iman.” Seorang manusia bisa bersih dengan mandi, menggunakan pakaian baru, dan lain-lain. Namun itu semua hanya bersih, bukan suci. Oleh karena itu kebersihan bisa dilakukan oleh siapa saja termasuk orang kafir. Sedangkan kesucian, hanyalah milik muslim, karena mereka wudhu, mandi wajib, dan tayammum, oleh karena itu wajar jika kesucian adalah bagian dari iman. Sedangkan, kebersihan belum tentu bagian dari iman, karena orang kafir juga bisa bersih-bersih.
           Maka, hal ini ditegaskan lagi oleh hadits:
الْوُضُوءُ شَطْرُ الْإِيمَانِ
           “Wudhu sebagian dari iman.” (HR. At Tirmidzi, No. 3583. Katanya: hasan shahih. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Misykah Al Mashabih no. 281)

  1. Hadits: Cinta Tanah Air adalah Sebagian dari Iman (Hubbul Wathan minal Iman)
Ungkapan ini juga sering disampaikan oleh para mubaligh kondang di negeri ini, lalu dengan meyakinkan, mereka mengatakan: Rasulullah telah bersabda:
حب الوطن من الإيمان
      “Cinta tanah air adalah sebagian dari iman.”
           Imam As Sakhawi mengatakan:  aku belum temukan atas perkataan ini. (Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 100. Mauqi’ Al Warraq) Hal ini juga dikatakan oleh Imam As Suyuthi. (Ad Durar Mutanatsirah, Hal. 9) juga Syaikh Muhammad Thahir bin Ali Al Hindi (Tadzkirah Al Maudhu’at, hal. 11)
           Sedangkan, Imam Ash Shaghani memasukkannya dalam deretan hadits-hadits palsu. (Al Maudhu’at, Hal. 2) Ini juga dikatakan  oleh Imam Al ‘Ajluni (Kasyfu Khafa’, 1/345) Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani juga mengatakan hadits ini palsu. (Silsilah Adh Dhaifah, 1/110/36. Darul Ma’arif)
          
Catatan:
           Mencintai tanah air merupakan naluri seluruh manusia. Tak ada yang mengingkari ini. Oleh karena itu, selain ungkapan ini cacat dari sisi periwayatan, dari sisi makna pun juga demikian. Tak ada kaitannya antara cinta tanah air dengan keimanan, sebab orang kafir pun juga mencintai tanah airnya. Apakah dengan mencintai tanah air, maka orang kafir memiliki separuh keimanan? Tentu tidak. Namun, demikian mencintai tanah bukanlah sebuah kesalahan jika tidak sampai melahirkan sikap nasionalisme sempit yang menghancurkan ukhuwah islamiyah ‘alamiyah (persaudaraan Islam internasional).
           Syaikh Al Albani Rahimahullah mengatakan:
و معناه غير مستقيم إذ إن حب الوطن كحب النفس و المال و نحوه ، كل ذلك غريزي في الإنسان لا يمدح بحبه و لا هو من لوازم الإيمان ، ألا ترى أن الناس كلهم مشتركون في هذا الحب لا فرق في ذلك بين مؤمنهم و كافرهم ؟ .
          
           “Maknanya tidak benar, sebab mencintai tanah air sama halnya dengan mencintai jiwa, harta, dan semisalnya, semua ini adalah hal yang instinktif pada manusia. Tidak ada pujian dengan mencintainya dan itu bukanlah suatu yang melekat pada keimanan. Tidakkah Anda menyaksikan bahwa semua manusia terlibat dalam semua perasaan cinta ini, maka tidak ada bedanya dalam hal ini antara orang beriman dan orang kafir?” (Ibid)


3.       Ungkapan: Barang siapa yang mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya

Kalimat ini juga sering disampaikan oleh para muballigh, namun sayangnya –sebagaimana ungkapan lainnya- mereka hanya mau mengutip dan menyampaikan, tanpa mau bersusah payah meneliti keabsahannya.

Ungkapan ini berbunyi:

من عرف نفسه فقد عرف ربه
           “Barang siapa yang mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya.”

           Ungkapan ini terdapat dalam beberapa kitab, di antaranya Kimiya As Sa’adah karya Imam Al Ghazali (hal. 1. Mauqi’ Al Warraq). Namun, sayangnya beliau –Rahimahullah-  telah melakukan kekeliruan dengan menggunakan kalimat “Rasulullah bersabda”  terhadap hadits ini.

 Selain itu juga terdapat dalam Hilyatul Auliya’ karya Imam Abu Nu’aim. (4/350. Mauqi’ Al Warraq) dan ternyata itu adalah ucapan Sahl bin Abdullah At Tastari, seorang ulama sufi yang dipuji oleh Imam Ibnu Taimiyah dan Imam ibnul Qayyim.

Juga terdapat dalam Al Futuhat Al Makkiyah karya Abu Thalib Al Makki. (5/462. Mauqi’ Al Warraq)

Para Imam Muhaqqiqin (peneliti) mengatakan bahwa ungkapan ini bukanlah ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Imam As Sakhawi, mengutip dari Abu Al Muzhaffar As Sam’ani yang mengatakan bahwa dia tidak mengetahui adanya ucapan seperti ini yang marfu’ (sampai kepada  Rasulullah), dan diceritakan bahwa ini adalah ucapan Yahya bin Muadz Ar Razi Radhiallahu ‘Anhu. Sedangkan Imam An Nawawi mengatakan bahwa ucapan ini tidaklah tsabit (kokoh) dari Rasulullah. (As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 220. As Suyuthi, Ad Durar Mutanatsirah, Hal. 18)

Sedangkan Imam Ash Shaghani dengan tegas memasukkannya dalam deretan hadits palsu. (Al Maudhu’at, hal 2) Begitu pula Imam Ibnu Taimiyah menegaskan kepalsuan  hadits ini. (Al ‘Ajluni, Kasyf Al Khafa’, 2/262/2532. Mauqi’ Ya’sub)

Sedangkan Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini tidak ada asalnya. (As Silsilah  Adh Dhaifah,  1/165/66) beliau mengutip perkataan Al ‘Allamah Fairuzzabadi –pengarang Qamus Al Muhith- sebagai berikut:

ليس من الأحاديث النبوية ، على أن أكثر الناس يجعلونه حديثا عن النبي صلى الله عليه وسلم ، و لا يصح أصلا، و إنما يروي في
الإسرائيليات : " يا إنسان اعرف نفسك تعرف ربك " .
           “Ini bukanlah hadits nabi, hanya saja banyak manusia menjadikan ucapan ini dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan ini pada dasarnya tidak  benar. Ini hanyalah  diriwayatkan dalam  ucapan Israiliyat (terpengaruh ajaran Yahudi): Wahai manusia kenalilah dirimu niscaya kau akan kenal Tuhanmu.” (Ibid)

           Sementara Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengomentari ungkapan ini, katanya:

وَبَعْضُ النَّاسِ يَرْوِي هَذَا عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَيْسَ هَذَا مِنْ كَلَامِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا هُوَ فِي شَيْءٍ مِنْ كُتُبِ الْحَدِيثِ وَلَا يُعْرَفُ لَهُ إسْنَادٌ . وَلَكِنْ يُرْوَى فِي بَعْضِ الْكُتُبِ الْمُتَقَدِّمَةِ إنْ صَحَّ " يَا إنْسَانُ اعْرَفْ نَفْسَك تَعْرِفْ رَبَّك "

        “Sebagian manusia ada yang meriwayatkan ini dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, padahal ini bukanlah ucapan Nabi, dan tidaklah sama sekali tercantum dalam kitab-kitab hadits, dan tidak diketahui sanadnya. Tetapi, jika benar, ucapan ini diriwayatkan dalam kitab-kitab terdahulu,   “Wahai manusia kenalilah dirimu niscaya kau akan kenal Tuhanmu.” (Majmu’ Fatawa, 3/445. Al Maktabah Asy Syamilah)
          
           Catatan:
           Ungkapan ini walau tidak benar disandarkan sebagai ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, namun memang memiliki nilai kebaikan. Maka, lebih bagus dikategorikan ini merupakan ucapan hikmah saja. Sebab mengenal diri sendiri, lalu mentafakkurinya diakui bisa menjadi sarana untuk semakin berma’rifah kepadaNya. Sebab diri manusia termasuk salah satu tanda-tanda kekuasaanNya, yang mesti ditafakkuri, sebagaimana ciptaan Allah Ta’ala lainnya.
           Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.” (QS. Ali ‘Imran (3): 190-191)
           Oleh karena itu, Imam Sufyan bin ‘Uyainah Radhiallahu ‘Anhu mengatakan:
ليس يضر المدح من عرف نفسه.
           “Tidak ada masalah   pujian terhadap orang yang mengenal dirinya.” (Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 220)
           Mengenal diri sendiri akan membawa sikap positif bagi manusia. Dia akan dapat menempatkan dirinya dalam bersikap dan bertutur kata di tengah-tengah manusia. Wallahu A’lam

  1. Hadits: Perbedaan Pendapat Umatku adalah rahmat
Hadits ini juga sering diucapkan para dai, namun hadits ini pun sama sekali tidak valid dan otentik dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Hadits itu  berbunyi:
اختلاف أمتي رحمة
           “Perbedaan pendapat pada umatku adalah rahmat.” (As Suyuthi mengatakan hadits ini diriwayatkan oleh Nashr Al Maqdisi dalam kitab Al Hajjah secara marfu’ dan Al Baihaqi dalam Al Madkhal  dari Al Qasim bin Muhammad dan ini adalah ucapan beliau. Lihat Ad Durar Mutanatsirah, Hal. 1)
           Imam Zainuddin Al ‘Iraqi mengatakan, sanad hadits ini dhaif. (Takhrijul Ihya’, No. 74. Lihat juga Raudhatul Muhadditsin, No. 4938) sedangkan Al ‘Ajluni mengatakan hadits ini munqathi’ (terputus) sanadnya. (Kasyf Al Khafa’, 1/64/153) Sedangkan As Subki dan lainnya mengatakan hadits ini tidak dikenal oleh para muhadditsin (ahli hadits) (Tadzkiratul Maudhu’at, Hal. 91)
           Syaikh Al Albani mengatakan: “Hadits ini tidak ada asalnya. Banyak para muhadditsin yang mencoba mencari sanadnya tetapi mereka tidak menemukannya, sampai-sampai As Suyuthi berkata dalam Al Jami’ Ash Shaghir: “Barang kali hadits ini telah dikeluarkan oleh sebagian kitab para imam yang belum sampai kepada kita.” Menurutku ini sangat jauh. (As Silsilah Adh Dhaifah, 1/141/57) Dalam kitabnya yang lain beliau menyatakan hadits ini maudhu’ (palsu) ( Dhaiful Jami’ No. 230)
           As Sakhawi juga mengatakan bahwa banyak para imam yang menyangka bahwa hadits ini tidak ada asalnya. (Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 14. Kasyf Al Khafa’, 1/65)
          

Ada pula hadits lain yang seperti ini berbunyi:
اختلاف أصحابي لكم رحمة
        “Perbedaan pendapat para sahabatku adalah rahmat bagi kalian.” (HR. Al Baihaqi, Al Madkhal Ila As Sunan Al Kubra, No. 113)
           Hadits ini juga dhaif jiddan (lemah sekali). Dalam perawinya terdapat Juwaibir dan Sulaiman seorang rawi yang sangat lemah, dan sanadnya munqathi’ (terputus) antara Adh Dhahak kepada Ibnu Abbas. Az Zarkasi, Ibnu Hajar, dan Al ‘Iraqi mencoba menguatkan hadits ini yakni dengan riwayat: “Perbedaan pendapat sahabatku adalah rahmat bagi umatku”. Namun ini juga    mursal dhaif. (Kasyf Al Khafa’, 1/64/ 153. Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 14. Kanzul ‘Umal, No. 1002)  Syaikh Al Albani juga menyatakan bahwa hadits ini palsu. (As Silsilah Adh Dhaifah, No. 59)
        Catatan:
           Kita telah mengetahui kelemahan hadits di atas, bahkan lebih parah lagi yakni palsu dan tidak ada dasarnya. Namun, secara makna perkataan bahwa “Perbedaan pendapat umatku adalah rahmat”  tidak mutlak salah. Sebab, dalam tataran dan jenis  tertentu, perbedaan memang membawa kebaikan, minimal masih bisa ditolerir. Oleh karena itu, banyak ulama yang membela esensi ucapan ini seperti Imam Al Khathabi, Imam An Nawawi, dan lain-lain.
           Telah diriwayatkan dari Qatadah, bahwa Umar bin Abdul Aziz berkata:
ما سرني لو أن أصحاب محمد صلى الله عليه لم يختلفوا لأنهم لو لم يختلفوا لم تكن رخصة
           “Tidaklah aku suka jika para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak berbeda pendapat, seandainya mereka tidak berbeda, niscaya tidak akan terjadi rukhshah (keringanan bagi umat- pen).”  (Kasyful Khafa, Ibid. Al Maqashid Al Hasanah  Ibid. Ad Durar Mutanatsirah, Ibid)
           Demikianlah perbedaan pendapat juga terjadi pada masa-masa terbaik, tetapi itu tidak memudharatkan mereka. Perbedaan seperti apakah ini?  Imam Al Munawi mengatakan maksud  perbedaan  yang membawa rahmat adalah perbedaan ijtihad dalam menentukan hukum sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Shalah dari Imam Malik. (Faidhul  Qadir, 1/271)
           Imam As Suyuthi berkata: “Maksud perbedaan pendapat ini adalah perbedaan dalam menentukan hukum.” Dikatakan: “Perbedaan dalam huruf dan perbuatan, sebagaimana yang dikatakan jamaah ahli hadits.” (Ad Durar Mutanatsirah, Ibid)
           Sebagian manusia ada juga yang tetap menolak makna ucapan ini menurut mereka jika perbedaan adalah rahmat, maka persatuan adalah  azab.  Ini diisyaratkan oleh Imam Al Khathabi sebagai berikut:
وقال اعترض على هذا الحديث رجلان، أحدهما ماجن والآخر ملحد، وهما اسحاق الموصلي وعمرو بن بحر الجاحظ، وقالا جميعاً: لو كان الاختلاف رحمة لكان الاتفاق عذاباً
           “Hadits ini telah ditentang oleh dua orang, yang satu orang yang suka bersenda gurau, dan yang lain seorang ateis (mulhid), mereka adalah Ishaq Al Maushili dan Amru bin Bahr Al Jahizh, mereka berkata: “Jika perbedaan adalah rahmat, maka persatuan adalah azab.” (Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 15)
           Imam An Nawawi Rahimahullah juga mengutip dari Imam Al Khathabi lebih legkap lagi, katanya:

 ثُمَّ زَعَمَ أَنَّهُ إِنَّمَا كَانَ اِخْتِلَاف الْأُمَّة رَحْمَة فِي زَمَن النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَاصَّة ؛ فَإِذَا اِخْتَلَفُوا سَأَلُوهُ ، فَبَيَّنَ لَهُمْ .
وَالْجَوَاب عَنْ هَذَا الِاعْتِرَاض الْفَاسِد : أَنَّهُ لَا يَلْزَم مِنْ كَوْن الشَّيْء رَحْمَة أَنْ يَكُون ضِدّه عَذَابًا ، وَلَا يَلْتَزِم هَذَا وَيَذْكُرهُ إِلَّا جَاهِل أَوْ مُتَجَاهِل . وَقَدْ قَالَ اللَّه تَعَالَى : { وَمِنْ رَحْمَته جَعَلَ لَكُمْ اللَّيْل وَالنَّهَار لِتَسْكُنُوا فِيهِ } فَسَمَّى اللَّيْل رَحْمَة ، وَلَمْ يَلْزَم مِنْ ذَلِكَ أَنْ يَكُون النَّهَار عَذَابًا ، وَهُوَ ظَاهِر لَا شَكَّ فِيهِ . قَالَ الْخَطَّابِيُّ : وَالِاخْتِلَاف فِي الدِّين ثَلَاثَة أَقْسَام : أَحَدهَا : فِي إِثْبَات الصَّانِع وَوَحْدَانِيّته ، وَإِنْكَار ذَلِكَ كُفْر .
وَالثَّانِي : فِي صِفَاته وَمَشِيئَته ، وَإِنْكَارهَا بِدْعَة .
وَالثَّالِث فِي أَحْكَام الْفُرُوع الْمُحْتَمَلَة وُجُوهًا ، فَهَذَا جَعَلَهُ اللَّه تَعَالَى رَحْمَة وَكَرَامَة لِلْعُلَمَاءِ ، وَهُوَ الْمُرَاد بِحَدِيثِ : اِخْتِلَاف أُمَّتِي رَحْمَة ، هَذَا آخِر كَلَام الْخَطَّابِي
        Lalu, mereka mengira bahwa perbedaan pada umat yang mendatangkan rahmat itu hanya khusus pada masa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Jika, para sahabat berbeda pendapat, maka Beliau memberikan penjelasan.
           Jawaban dari penolakan yang buruk ini adalah tidak selalu dalam berbagai hal bahwa lawan dari rahmat adalah azab, tidaklah yang mengatakan hal itu melainkan orang bodoh atau belagak bodoh. Allah ta’ala telah berfirman: “ .. dan karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu beristirahat pada malam itu ..”  malam dinamakan rahmat, dan tidaklah patut dikatakan lantas siang adalah azab, dan ini sangat jelas dan tak ada keraguan di dalamnya.
           Al Khathabi berkata perbedaan dalam agama ada tiga macam: Pertama, menetapkan perbuatan dan keesaanNya, maka mengingkarinya adalah kufur. Kedua, perbedaan pendapat tentang sifat dan kehendakNya, mengingkarinya adalah bid’ah. Ketiga, tentang hukum-hukum cabang yang multi tafsir, maka inilah yang Allah jadikan rahmat dan kemuliaan bagi ulama. Inilah maksud “perbedaan pendapat umatku adalah rahmat.” Selesai ucapan Al Khathabi. (Imam An Nawawi, Syarh Shahih Muslim, No. 3090. Mauqi’ Ruh Al Islam)
           Demikianlah pembelaan dari Imam Al Khathabi dan Imam An Nawawi terhadap isi hadits tersebut. Namun, pembelaan ini tidaklah merubah status kedhaifan hadits tersebut sedikit pun. Hal ini diisyaratkan oleh Imam As Sakhawi berikut ini:
ثم تشاغل الخطابي برد هذا الكلام، ولم يقع في كلامه شفاء في عزو الحديث

           “Kemudian Al Khathabi sibuk membantah ucapan ini (Yakni ucapan, “Jika perbedaan adalah rahmat, maka persatuan adalah azab.”), namun pejelasan itu tidak bisa mengobati untuk menguatkan hadits tersebut.” (Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 14)
Jika ada yang mengatakan, “Bukankah Allah memerintahkan persatuan, agar kita berpegang pada tali agama Allah dan jangan berpecah belah?” jawab: Benar, namun perbedaan pendapat tidaklah selalu berkonotasi perpecahan. Berbeda pendapat  bukanlah halangan untuk tetap ukhuwah. Allah Ta’ala melarang kita untuk berpecah, bukan melarang untuk berbeda pendapat, bahkan perbedaan itu sesuatu yang lumrah dan tabiat kehidupan.
           Allah Ta’ala berfirman:
           “Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka Senantiasa berselisih pendapat..” (QS. Hud (11): 118)

  1. Hadits: Pemimpin sebuah kaum adalah pelayan bagi kaumnya (Sayyidul Qaum Khadimuhum)
Hadits ini sering pula diungkapkan oleh para dai ketika menasehati para pejabat atau pemimpin. Hadits itu:
سيد القوم خادمهم
           “Pemimpin sebuah kaum adalah pelayan bagi kaumnya.”
           As Sakhawi mengatakan, dari Abu Abdirrahman As Sulami dalam Adab Ash Shuhbah, beliau memiliki riwayat dari Yahya bin Aktsam, dari Al Ma’mun, dari ayahnya, dari kakeknya, dari ‘Uqbah bin ‘Amir, dia memarfu’kan hadits ini. Terdapat kisah untuk Yahya bin Aktsam dengan Al Ma’mun. Sanadnya dhaif dan munqathi’ (terputus). (Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 133. Kasful Khafa’, 1/462-463)
           Yahya bin Aktsam ini telah mendapat jarh (celaan) dari para ulama hadits. Imam Yahya bin Ma’in mengatakan bahwa Yahya bin Aktsam adalah pendusta. Abu ‘Ashim mengatakan bahwa dia adalah pendusta. Bahkan Ishaq bin Rahawaih menyebutnya dajjal (pembohong besar). Abu Hatim mengatakan bahwa Yahya bin Aktsam harus ditinjau kembali. Abdurrahman bertanya kepada ayahnya, Abu Hatim, apa pendapatmu tentang Yahya bin Aktsam? Beliau menjawab: “Kita memohon keselamatan kepada Allah!”(Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzib At Tahdzib, 11/159. Darul Fikr. Al Hafizh Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, 31/210-211. Muasasah Ar Risalah)
           Ali bin Al Husain Al Junaid mengatakan bahwa Yahya bin Aktsam ini telah mencuri hadits lalu mengklaim hadits itu kepada dirinya. Shalih bin Muhammad ditanya tentang beliau, katanya: Demi Allah aku membenci haditsnya. Al Azdi mengatakan bahwa beliau banyak diperbincangkan, dan telah meriwayatkan dari orang-orang terpercaya  keanehan-keanehan yang tidak layak diikuti. (Tahdzibul Kamal, 31/211)
           Maka jelaslah kedhaifan hadits ini, dan Syaikh Al Albani juga telah mendhaifkan hadits ini. (As Silsilah Ash Shahihah, 4/9/1502)
          Catatan:
           Hadits ini telah jelas kelemahannya. Namun secara makna ini menjadi nasihat yang baik buat para pemimpin, baik di masyarakat atau pemerintahan.  Banyak kisah menyebutkan para Khufa’ur Rasyidin yang justru melayani keperluan umatnya secara langsung. Pemimpin seperti itulah yang akan mendapatkan cinta rakyatnya dan ridha Tuhannya.
Wallahu A’lam
(bersambung Insya Allah ….)

0 komentar:

Posting Komentar