Oleh: Farid
Nu’man
Mukadimah
As Sunnah An
Nabawiyah merupakan salah satu marja’ (referensi) tertinggi umat Islam
setelah Al Quran. Allah Ta’ala pun memerintahkan agar kita menjadikan Sunnah
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai pedoman hidup umat
Islam bersama Al Quran. Bahkan berpaling dari As Sunnah merupakan salah satu
bentuk kekufuran dan membawa malapetaka bagi pelakunya.
“Katakanlah: "Ta'atilah Allah dan Rasul-Nya; jika
kamu berpaling, Maka Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir"
(QS. Ali Imran (3): 32)
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan
Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari
kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
(QS. An Nisa’ (4): 59)
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak
beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka
perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan
terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.”
(QS. Ali Imran (3): 65)
“.. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka
terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah
kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya.” (QS. Al Hasyr (59): 7)
“Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah
Rasul, takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih.” (QS. An Nur
(24): 63)
Namun, diantara manusia ada yang seperti mencari
kayu bakar di malam hari. Tidak bisa membedakan mana kayu bakar, mana akar
basah. Tidak bisa membedakan, atau terkecoh dengan ucapan manusia, pepatah,
hikayat, lalu disandarkan sebagai ucapan dan perbuatan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Lalu hal itu tersebar dari lisan ke lisan, dari buku ke
buku, dan dari ceramah ke ceramah, dan manusia saling mengutip satu sama lain.
Sayangnya, mereka tanpa mau tahu dan peduli, kebenaran dan keaslian ucapan
tersebut adalah hadits nabi atau bukan. Tetapi, Allah Ta’ala telah menjanjikan
bahwa agama ini akan terjaga dan terpelihara. Terjaga dan terpeliharanya agama
ini, tentunya membawa konsekuensi terjaganya pula sumber-sumber agama, yakni Al
Quran dan As Sunnah karena keduanya tidak bisa dipisahkan.
Berikut akan saya paparkan ucapan yang tenar di lisan
manusia, lalu mereka menganggapnya sebagai hadits.
- Ucapan: Kebersihan Sebagian Dari
Iman (An Nazhafatu minal Iman)
Ucapan ini sangat terkenal dan dibuat dalam bentuk
stiker, hiasan dinding, slogan, dan lainnya. Lalu mereka menyebutnya sebagai
sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Hadits ini dhaif
jiddan (sangat lemah).
Imam Al ‘Iraqi, ketika membahas Buniya Ad Din ‘alan
Nazhafah (Agama di bangun di atas Kebersihan), beliau berkata:
لم أجده هكذا ، وفي الضعفاء لابن حبان
من حديث عائشة " تنظفوا فإن الإسلام نظيف " والطبراني في الأوسط بسند
ضعيف جدا من حديث ابن مسعود " النظافة من الإيمان " .
“Belum saya temukan hadits seperti ini. Dalam kitab Adh
Dhu’afa karya Imam Ibnu Hibban terdapat hadits dari ‘Aisyah: “Bersih
bersihlah karena Islam itu bersih.” Dan oleh Imam Ath Thabarani dalam kitab Al
Awsath, dengan sanad dhaif jiddan (sangat lemah) dari hadits Ibnu
Mas’ud: “Kebersihan sebagian dari Iman.” (Takhrijul Ahadits Ihya’,
No. 278)
Lajnah
Da’imah (semacam komisi Fatwa) di
Kerajaan Saudi Arabia, yang di ketuai saat itu oleh Syaikh Abdul Aziz bin Baz Rahimahullah,
pernah ditanya tentang status hadits ini. Mereka menjawab:
ما ذكرته من الجمل ليست
بأحاديث عن النبي صلى الله عليه وسلم، وإنما هي كلمات جرت على ألسنة الناس.
“Apa yang
Anda sebutkan secara global, bukanlah hadits dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam, itu hanyalah perkataan yang meluncur dari lisan manusia.” (Fatawa
Al Lajnah Ad Da’imah Lil Buhuts Al ‘Ilmiah wal Ifta’, pertanyaan No.
5729. Cet. 1. Riasah Idarat Al Buhuts Al ‘Ilmiah wal ifta’. Riyadh)
Catatan:
Walau pun
ucapan ini bukanlah hadits. Namun, Islam adalah agama cinta kebersihan dan
keindahan. Hal ini ditegaskan dalam hadits-hadits shahih sebagai berikut:
Dari
Abdullah bin Mas’ud Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ اللَّهَ
جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ
“Sesungguhnya Allah itu indah, dan mencintai keindahan.” (HR. Muslim, Bab
Tahrim Al Kibr wa Bayanihi, No. 91. At Tirmdzi, Bab Maa Ja’a fi Al Kibr,
No. 2067. Katanya: hasan shahih gharib. Ahmad No. 3600. Ibnu Hibban, Bab
No. 5466)
Juga, dari Abu Malik Al Asy’ari
Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
bersabda:
الطُّهُورُ شَطْرُ
الْإِيمَانِ
“Kesucian adalah sebagian dari iman.” (HR. Muslim, Bab Fadhl Al Wudhu,
No. 223. Ahmad No. 21834. Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, No. 3. Ad
Darimi No. 653)
Hadits ini memiliki perbedaan makna
dengan, “Kebersihan sebagian dari iman.” Seorang manusia bisa
bersih dengan mandi, menggunakan pakaian baru, dan lain-lain. Namun itu semua
hanya bersih, bukan suci. Oleh karena itu kebersihan bisa dilakukan oleh siapa
saja termasuk orang kafir. Sedangkan kesucian, hanyalah milik muslim, karena
mereka wudhu, mandi wajib, dan tayammum, oleh karena itu wajar jika kesucian
adalah bagian dari iman. Sedangkan, kebersihan belum tentu bagian dari iman,
karena orang kafir juga bisa bersih-bersih.
Maka, hal ini ditegaskan lagi oleh hadits:
الْوُضُوءُ شَطْرُ
الْإِيمَانِ
“Wudhu sebagian dari iman.” (HR.
At Tirmidzi, No. 3583. Katanya: hasan shahih. Dishahihkan oleh Syaikh Al
Albani dalam Misykah Al Mashabih no. 281)
- Hadits: Cinta Tanah Air adalah Sebagian dari Iman
(Hubbul Wathan minal Iman)
Ungkapan
ini juga sering disampaikan oleh para mubaligh kondang di negeri ini, lalu
dengan meyakinkan, mereka mengatakan: Rasulullah telah bersabda:
حب الوطن من الإيمان
“Cinta tanah air adalah sebagian dari
iman.”
Imam As Sakhawi mengatakan: aku belum temukan atas perkataan ini. (Al
Maqashid Al Hasanah, Hal. 100. Mauqi’ Al Warraq) Hal ini juga dikatakan
oleh Imam As Suyuthi. (Ad Durar Mutanatsirah, Hal. 9) juga Syaikh
Muhammad Thahir bin Ali Al Hindi (Tadzkirah Al Maudhu’at, hal. 11)
Sedangkan, Imam Ash Shaghani
memasukkannya dalam deretan hadits-hadits palsu. (Al Maudhu’at, Hal.
2) Ini juga dikatakan oleh Imam Al ‘Ajluni (Kasyfu Khafa’,
1/345) Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani juga mengatakan hadits ini
palsu. (Silsilah Adh Dhaifah, 1/110/36. Darul Ma’arif)
Catatan:
Mencintai tanah air merupakan naluri seluruh manusia. Tak ada yang mengingkari
ini. Oleh karena itu, selain ungkapan ini cacat dari sisi periwayatan, dari
sisi makna pun juga demikian. Tak ada kaitannya antara cinta tanah air dengan
keimanan, sebab orang kafir pun juga mencintai tanah airnya. Apakah dengan
mencintai tanah air, maka orang kafir memiliki separuh keimanan? Tentu tidak.
Namun, demikian mencintai tanah bukanlah sebuah kesalahan jika tidak sampai
melahirkan sikap nasionalisme sempit yang menghancurkan ukhuwah islamiyah
‘alamiyah (persaudaraan Islam internasional).
Syaikh Al Albani Rahimahullah mengatakan:
و معناه غير مستقيم إذ إن حب الوطن كحب
النفس و المال و نحوه ، كل ذلك غريزي في الإنسان لا يمدح بحبه و لا هو من لوازم
الإيمان ، ألا ترى أن الناس كلهم مشتركون في هذا الحب لا فرق في ذلك بين مؤمنهم و
كافرهم ؟ .
“Maknanya tidak benar, sebab mencintai tanah air sama halnya dengan mencintai
jiwa, harta, dan semisalnya, semua ini adalah hal yang instinktif pada manusia.
Tidak ada pujian dengan mencintainya dan itu bukanlah suatu yang melekat pada keimanan. Tidakkah Anda menyaksikan bahwa
semua manusia terlibat dalam semua perasaan cinta ini, maka tidak ada bedanya
dalam hal ini antara orang beriman dan orang kafir?” (Ibid)
3. Ungkapan: Barang siapa yang mengenal dirinya, maka dia akan mengenal Tuhannya
Kalimat ini juga sering disampaikan oleh para
muballigh, namun sayangnya –sebagaimana ungkapan lainnya- mereka hanya mau
mengutip dan menyampaikan, tanpa mau bersusah payah meneliti keabsahannya.
Ungkapan
ini berbunyi:
من عرف نفسه فقد عرف ربه
“Barang siapa yang mengenal dirinya,
maka dia akan mengenal Tuhannya.”
Ungkapan ini terdapat dalam beberapa kitab, di antaranya Kimiya As
Sa’adah karya Imam Al Ghazali (hal. 1. Mauqi’ Al Warraq). Namun,
sayangnya beliau –Rahimahullah- telah melakukan kekeliruan dengan
menggunakan kalimat “Rasulullah bersabda” terhadap hadits ini.
Selain itu juga terdapat dalam Hilyatul
Auliya’ karya Imam Abu Nu’aim. (4/350. Mauqi’ Al Warraq) dan
ternyata itu adalah ucapan Sahl bin Abdullah At Tastari, seorang ulama sufi
yang dipuji oleh Imam Ibnu Taimiyah dan Imam ibnul Qayyim.
Juga terdapat dalam Al Futuhat Al Makkiyah karya
Abu Thalib Al Makki. (5/462. Mauqi’ Al Warraq)
Para Imam Muhaqqiqin (peneliti) mengatakan
bahwa ungkapan ini bukanlah ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Imam As Sakhawi, mengutip dari Abu Al Muzhaffar As Sam’ani yang mengatakan
bahwa dia tidak mengetahui adanya ucapan seperti ini yang marfu’ (sampai
kepada Rasulullah), dan diceritakan bahwa ini adalah ucapan Yahya bin
Muadz Ar Razi Radhiallahu ‘Anhu. Sedangkan Imam An Nawawi mengatakan
bahwa ucapan ini tidaklah tsabit (kokoh) dari Rasulullah. (As
Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 220. As Suyuthi, Ad Durar
Mutanatsirah, Hal. 18)
Sedangkan Imam Ash Shaghani dengan tegas memasukkannya
dalam deretan hadits palsu. (Al Maudhu’at, hal 2) Begitu pula
Imam Ibnu Taimiyah menegaskan kepalsuan hadits ini. (Al ‘Ajluni, Kasyf
Al Khafa’, 2/262/2532. Mauqi’ Ya’sub)
Sedangkan Syaikh Al Albani mengatakan hadits ini tidak
ada asalnya. (As Silsilah Adh Dhaifah, 1/165/66)
beliau mengutip perkataan Al ‘Allamah Fairuzzabadi –pengarang Qamus Al
Muhith- sebagai berikut:
ليس من الأحاديث النبوية ، على أن أكثر
الناس يجعلونه حديثا عن النبي صلى الله عليه وسلم ، و لا يصح أصلا، و إنما يروي في
الإسرائيليات : " يا إنسان اعرف
نفسك تعرف ربك " .
“Ini bukanlah hadits nabi, hanya saja banyak manusia menjadikan ucapan ini dari
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan ini pada dasarnya tidak
benar. Ini hanyalah diriwayatkan dalam ucapan Israiliyat
(terpengaruh ajaran Yahudi): Wahai manusia kenalilah dirimu niscaya kau akan
kenal Tuhanmu.” (Ibid)
Sementara Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah mengomentari
ungkapan ini, katanya:
وَبَعْضُ النَّاسِ يَرْوِي هَذَا عَنْ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَيْسَ هَذَا مِنْ كَلَامِ
النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَلَا هُوَ فِي شَيْءٍ مِنْ كُتُبِ
الْحَدِيثِ وَلَا يُعْرَفُ لَهُ إسْنَادٌ . وَلَكِنْ يُرْوَى فِي بَعْضِ الْكُتُبِ
الْمُتَقَدِّمَةِ إنْ صَحَّ " يَا إنْسَانُ اعْرَفْ نَفْسَك تَعْرِفْ رَبَّك
"
“Sebagian manusia ada yang meriwayatkan ini dari Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, padahal ini bukanlah ucapan Nabi, dan tidaklah sama
sekali tercantum dalam kitab-kitab hadits, dan tidak diketahui sanadnya.
Tetapi, jika benar, ucapan ini diriwayatkan dalam kitab-kitab
terdahulu, “Wahai manusia kenalilah dirimu niscaya kau akan kenal
Tuhanmu.” (Majmu’ Fatawa, 3/445. Al Maktabah Asy Syamilah)
Catatan:
Ungkapan ini walau tidak benar disandarkan sebagai ucapan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, namun memang memiliki nilai kebaikan. Maka, lebih bagus
dikategorikan ini merupakan ucapan hikmah saja. Sebab mengenal diri sendiri,
lalu mentafakkurinya diakui bisa menjadi sarana untuk semakin berma’rifah
kepadaNya. Sebab diri manusia termasuk salah satu tanda-tanda kekuasaanNya,
yang mesti ditafakkuri, sebagaimana ciptaan Allah Ta’ala lainnya.
Allah Ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya
dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang
terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal, (yaitu) orang-orang yang
mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan
mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya
Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau,
Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.” (QS. Ali ‘Imran (3): 190-191)
Oleh karena itu, Imam Sufyan bin ‘Uyainah Radhiallahu ‘Anhu mengatakan:
ليس يضر المدح من عرف نفسه.
“Tidak ada masalah pujian terhadap orang yang mengenal dirinya.” (Al
Maqashid Al Hasanah, Hal. 220)
Mengenal diri sendiri akan membawa
sikap positif bagi manusia. Dia akan dapat menempatkan dirinya dalam bersikap
dan bertutur kata di tengah-tengah manusia. Wallahu A’lam
- Hadits: Perbedaan Pendapat Umatku adalah rahmat
Hadits
ini juga sering diucapkan para dai, namun hadits ini pun sama sekali tidak
valid dan otentik dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Hadits
itu berbunyi:
اختلاف أمتي رحمة
“Perbedaan pendapat pada umatku adalah rahmat.” (As Suyuthi mengatakan
hadits ini diriwayatkan oleh Nashr Al Maqdisi dalam kitab Al Hajjah
secara marfu’ dan Al Baihaqi dalam Al Madkhal dari Al Qasim
bin Muhammad dan ini adalah ucapan beliau. Lihat Ad Durar Mutanatsirah,
Hal. 1)
Imam Zainuddin Al ‘Iraqi mengatakan, sanad hadits ini dhaif. (Takhrijul
Ihya’, No. 74. Lihat juga Raudhatul Muhadditsin, No. 4938) sedangkan
Al ‘Ajluni mengatakan hadits ini munqathi’ (terputus) sanadnya. (Kasyf
Al Khafa’, 1/64/153) Sedangkan As Subki dan lainnya mengatakan hadits
ini tidak dikenal oleh para muhadditsin (ahli hadits) (Tadzkiratul
Maudhu’at, Hal. 91)
Syaikh Al Albani mengatakan: “Hadits
ini tidak ada asalnya. Banyak para muhadditsin yang mencoba mencari sanadnya
tetapi mereka tidak menemukannya, sampai-sampai As Suyuthi berkata dalam Al
Jami’ Ash Shaghir: “Barang kali hadits ini telah dikeluarkan oleh sebagian
kitab para imam yang belum sampai kepada kita.” Menurutku ini sangat jauh. (As
Silsilah Adh Dhaifah, 1/141/57) Dalam kitabnya yang lain beliau
menyatakan hadits ini maudhu’ (palsu) ( Dhaiful Jami’ No. 230)
As Sakhawi juga mengatakan bahwa
banyak para imam yang menyangka bahwa hadits ini tidak ada asalnya. (Al
Maqashid Al Hasanah, Hal. 14. Kasyf Al Khafa’, 1/65)
Ada pula
hadits lain yang seperti ini berbunyi:
اختلاف
أصحابي لكم رحمة
“Perbedaan pendapat para sahabatku adalah
rahmat bagi kalian.” (HR. Al Baihaqi, Al Madkhal Ila As Sunan Al Kubra,
No. 113)
Hadits ini juga dhaif jiddan (lemah sekali). Dalam perawinya terdapat
Juwaibir dan Sulaiman seorang rawi yang sangat lemah, dan sanadnya munqathi’
(terputus) antara Adh Dhahak kepada Ibnu Abbas. Az Zarkasi, Ibnu Hajar, dan Al ‘Iraqi
mencoba menguatkan hadits ini yakni dengan riwayat: “Perbedaan pendapat
sahabatku adalah rahmat bagi umatku”. Namun ini juga mursal
dhaif. (Kasyf Al Khafa’, 1/64/ 153. Al Maqashid Al Hasanah,
Hal. 14. Kanzul ‘Umal, No. 1002) Syaikh Al Albani juga
menyatakan bahwa hadits ini palsu. (As Silsilah Adh Dhaifah, No. 59)
Catatan:
Kita telah mengetahui kelemahan hadits di atas, bahkan lebih parah lagi yakni
palsu dan tidak ada dasarnya. Namun, secara makna perkataan bahwa “Perbedaan
pendapat umatku adalah rahmat” tidak mutlak salah. Sebab, dalam tataran dan
jenis tertentu, perbedaan memang membawa kebaikan, minimal masih bisa
ditolerir. Oleh karena itu, banyak ulama
yang membela esensi ucapan ini seperti Imam Al Khathabi, Imam An Nawawi, dan
lain-lain.
Telah diriwayatkan dari Qatadah, bahwa Umar bin Abdul Aziz berkata:
ما سرني
لو أن أصحاب محمد صلى الله عليه لم يختلفوا لأنهم لو لم يختلفوا لم تكن رخصة
“Tidaklah aku suka jika para sahabat Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
tidak berbeda pendapat, seandainya mereka tidak berbeda, niscaya tidak akan
terjadi rukhshah (keringanan bagi umat- pen).”
(Kasyful Khafa, Ibid. Al Maqashid Al Hasanah Ibid. Ad Durar
Mutanatsirah, Ibid)
Demikianlah perbedaan pendapat juga
terjadi pada masa-masa terbaik, tetapi itu tidak memudharatkan mereka.
Perbedaan seperti apakah ini? Imam Al Munawi mengatakan maksud
perbedaan yang membawa rahmat adalah perbedaan ijtihad dalam menentukan hukum sebagaimana yang dikutip oleh Ibnu Shalah dari Imam Malik. (Faidhul Qadir, 1/271)
Imam As Suyuthi berkata:
“Maksud perbedaan pendapat ini adalah perbedaan dalam menentukan hukum.”
Dikatakan: “Perbedaan dalam huruf dan perbuatan, sebagaimana yang dikatakan
jamaah ahli hadits.” (Ad Durar Mutanatsirah, Ibid)
Sebagian manusia ada juga
yang tetap menolak makna ucapan ini menurut mereka jika perbedaan adalah
rahmat, maka persatuan adalah azab. Ini diisyaratkan oleh Imam Al
Khathabi sebagai berikut:
وقال
اعترض على هذا الحديث رجلان، أحدهما ماجن والآخر ملحد، وهما اسحاق الموصلي وعمرو
بن بحر الجاحظ، وقالا جميعاً: لو كان الاختلاف رحمة لكان الاتفاق عذاباً
“Hadits ini
telah ditentang oleh dua orang, yang satu orang yang suka bersenda gurau, dan
yang lain seorang ateis (mulhid), mereka adalah Ishaq Al Maushili dan
Amru bin Bahr Al Jahizh, mereka berkata: “Jika perbedaan adalah rahmat, maka
persatuan adalah azab.” (Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 15)
Imam An Nawawi
Rahimahullah juga mengutip dari Imam Al Khathabi lebih legkap lagi,
katanya:
ثُمَّ زَعَمَ أَنَّهُ
إِنَّمَا كَانَ اِخْتِلَاف الْأُمَّة رَحْمَة فِي زَمَن النَّبِيّ صَلَّى اللَّه
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَاصَّة ؛ فَإِذَا اِخْتَلَفُوا سَأَلُوهُ ، فَبَيَّنَ لَهُمْ
.
وَالْجَوَاب عَنْ هَذَا الِاعْتِرَاض
الْفَاسِد : أَنَّهُ لَا يَلْزَم مِنْ كَوْن الشَّيْء رَحْمَة أَنْ يَكُون ضِدّه
عَذَابًا ، وَلَا يَلْتَزِم هَذَا وَيَذْكُرهُ إِلَّا جَاهِل أَوْ مُتَجَاهِل .
وَقَدْ قَالَ اللَّه تَعَالَى : { وَمِنْ رَحْمَته جَعَلَ لَكُمْ اللَّيْل
وَالنَّهَار لِتَسْكُنُوا فِيهِ } فَسَمَّى اللَّيْل رَحْمَة ، وَلَمْ يَلْزَم
مِنْ ذَلِكَ أَنْ يَكُون النَّهَار عَذَابًا ، وَهُوَ ظَاهِر لَا شَكَّ فِيهِ .
قَالَ الْخَطَّابِيُّ : وَالِاخْتِلَاف فِي الدِّين ثَلَاثَة أَقْسَام : أَحَدهَا
: فِي إِثْبَات الصَّانِع وَوَحْدَانِيّته ، وَإِنْكَار ذَلِكَ كُفْر .
وَالثَّانِي : فِي صِفَاته وَمَشِيئَته
، وَإِنْكَارهَا بِدْعَة .
وَالثَّالِث فِي
أَحْكَام الْفُرُوع الْمُحْتَمَلَة وُجُوهًا ، فَهَذَا جَعَلَهُ اللَّه تَعَالَى
رَحْمَة وَكَرَامَة لِلْعُلَمَاءِ ، وَهُوَ الْمُرَاد بِحَدِيثِ : اِخْتِلَاف
أُمَّتِي رَحْمَة ، هَذَا آخِر كَلَام الْخَطَّابِي
Lalu, mereka mengira bahwa
perbedaan pada umat yang mendatangkan rahmat itu hanya khusus pada masa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam. Jika, para sahabat berbeda pendapat, maka Beliau
memberikan penjelasan.
Jawaban dari penolakan yang buruk ini adalah tidak selalu dalam berbagai hal
bahwa lawan dari rahmat adalah azab, tidaklah yang mengatakan hal itu melainkan
orang bodoh atau belagak bodoh. Allah ta’ala telah berfirman: “ .. dan
karena rahmat-Nya, Dia jadikan untukmu malam dan siang, supaya kamu
beristirahat pada malam itu ..” malam dinamakan rahmat, dan tidaklah
patut dikatakan lantas siang adalah azab, dan ini sangat jelas dan tak ada
keraguan di dalamnya.
Al Khathabi
berkata perbedaan dalam agama ada tiga macam: Pertama, menetapkan perbuatan dan
keesaanNya, maka mengingkarinya adalah kufur. Kedua, perbedaan pendapat tentang
sifat dan kehendakNya, mengingkarinya adalah bid’ah. Ketiga, tentang
hukum-hukum cabang yang multi tafsir, maka inilah yang Allah jadikan rahmat dan
kemuliaan bagi ulama. Inilah maksud “perbedaan pendapat umatku adalah
rahmat.” Selesai ucapan Al Khathabi. (Imam An Nawawi, Syarh Shahih
Muslim, No. 3090. Mauqi’ Ruh Al Islam)
Demikianlah pembelaan
dari Imam Al Khathabi dan Imam An Nawawi terhadap isi hadits tersebut. Namun,
pembelaan ini tidaklah merubah status kedhaifan hadits tersebut sedikit pun.
Hal ini diisyaratkan oleh Imam As Sakhawi berikut ini:
ثم تشاغل
الخطابي برد هذا الكلام، ولم يقع في كلامه شفاء في عزو الحديث
“Kemudian Al
Khathabi sibuk membantah ucapan ini (Yakni ucapan, “Jika perbedaan adalah
rahmat, maka persatuan adalah azab.”), namun pejelasan itu tidak bisa mengobati
untuk menguatkan hadits tersebut.” (Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 14)
Jika ada yang mengatakan, “Bukankah Allah memerintahkan
persatuan, agar kita berpegang pada tali agama Allah dan jangan berpecah
belah?” jawab: Benar, namun perbedaan pendapat tidaklah selalu berkonotasi
perpecahan. Berbeda pendapat bukanlah halangan untuk tetap ukhuwah. Allah
Ta’ala melarang kita untuk berpecah, bukan melarang untuk berbeda pendapat,
bahkan perbedaan itu sesuatu yang lumrah dan tabiat kehidupan.
Allah Ta’ala
berfirman:
“Jikalau
Tuhanmu menghendaki, tentu Dia menjadikan manusia umat yang satu, tetapi mereka
Senantiasa berselisih pendapat..” (QS. Hud (11): 118)
- Hadits: Pemimpin
sebuah kaum adalah pelayan bagi kaumnya (Sayyidul Qaum Khadimuhum)
Hadits ini sering pula diungkapkan oleh para dai ketika
menasehati para pejabat atau pemimpin. Hadits itu:
سيد القوم خادمهم
“Pemimpin
sebuah kaum adalah pelayan bagi kaumnya.”
As
Sakhawi mengatakan, dari Abu Abdirrahman As Sulami dalam Adab Ash Shuhbah,
beliau memiliki riwayat dari Yahya bin Aktsam, dari Al Ma’mun, dari
ayahnya, dari kakeknya, dari ‘Uqbah bin ‘Amir, dia memarfu’kan hadits
ini. Terdapat kisah untuk Yahya bin Aktsam dengan Al Ma’mun. Sanadnya dhaif
dan munqathi’ (terputus). (Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 133. Kasful
Khafa’, 1/462-463)
Yahya bin Aktsam ini
telah mendapat jarh (celaan) dari para ulama hadits. Imam Yahya bin
Ma’in mengatakan bahwa Yahya bin Aktsam adalah pendusta. Abu ‘Ashim mengatakan
bahwa dia adalah pendusta. Bahkan Ishaq bin Rahawaih menyebutnya dajjal
(pembohong besar). Abu Hatim mengatakan bahwa Yahya bin Aktsam harus ditinjau
kembali. Abdurrahman bertanya kepada ayahnya, Abu Hatim, apa pendapatmu tentang
Yahya bin Aktsam? Beliau menjawab: “Kita memohon keselamatan kepada Allah!”(Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzib At Tahdzib, 11/159.
Darul Fikr. Al Hafizh Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, 31/210-211. Muasasah Ar
Risalah)
Ali bin Al Husain Al
Junaid mengatakan bahwa Yahya bin Aktsam ini telah mencuri hadits lalu
mengklaim hadits itu kepada dirinya. Shalih bin Muhammad ditanya tentang
beliau, katanya: Demi Allah aku membenci haditsnya. Al Azdi mengatakan
bahwa beliau banyak diperbincangkan, dan telah meriwayatkan dari orang-orang
terpercaya keanehan-keanehan yang tidak layak diikuti. (Tahdzibul
Kamal, 31/211)
Maka jelaslah
kedhaifan hadits ini, dan Syaikh Al Albani juga telah mendhaifkan hadits ini. (As
Silsilah Ash Shahihah, 4/9/1502)
Catatan:
Hadits ini
telah jelas kelemahannya. Namun secara makna ini menjadi nasihat yang baik buat
para pemimpin, baik di masyarakat atau pemerintahan. Banyak kisah
menyebutkan para Khufa’ur Rasyidin yang justru melayani keperluan umatnya
secara langsung. Pemimpin seperti itulah
yang akan mendapatkan cinta rakyatnya dan ridha Tuhannya.
Wallahu
A’lam
(bersambung Insya Allah ….)
0 komentar:
Posting Komentar