Gamis Syar'i, Elegan Bergaya Korea.

Koleksi gamis yang indah ini dapat anda miliki dengan harga yang murah kualitas oke, bahan katun, dengan corak batik yang variatif.

Tas Trendy, Unik, dan Gaul

Koleksi ratusan model tas unik dan lucu, selalu menemani perjalanan anda, semakin percaya diri dengan tas trendy.

Koleksi Bros Clay Unik

Penampilanmu akan semakin cantik dengan koleksi bros clay ini, padukan jilbabmu dengan model dan warna bros clay yang kamu inginkan.

Flash Card Abjad, Angka, dan Hijaiyah.

Ayo kita bermain flash card dengan putra putri kita, membimbing dan mengenalkan mereka dengan huruf, angka, dan huruf hijaiyah.

Jersey Grade original Murah

Bagi penggemar sepak bola, jangan sampai tidak memiliki jersey tim favoritmu, kualitas jersey grade original 98% mirip dengan pemain bintang lapangan hijau. Mau??.

Kamis, 08 November 2012

Dikira Hadits Padahal Bukan 2




Oleh: Farid Nu’man Hasan

Saya akan lanjutkan kajian tentang hadits-hadits dhaif dan palsu yang banyak beredar di masyarakat, dan sering dijadikan pedoman oleh mereka untuk beramal. Tidak sedikit di antara hadits-hadits tersebut sangat sering disampaikan dalam ceramah atau buku-buku, dan sayangnya tidak jelaskan kedudukannya sehingga banyak mengecoh pendengar dan pembacanya.

Semoga kajian ini bermanfaat dan bisa menjadi panduan bagi kita untuk berhati-hati dari hadits-hadits dhaif dan palsu. Cukuplah bagi kita hadits-hadits shahih saja, yang benar-benar nyata sebagai perkataan, perbuatan, dan persetujuan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

1.      Bekerjalah Kamu untuk Duniamu Seakan Kamu Hidup Selamanya ...dst

اعمل لدنياك كأنك تعيش أبدا ، و اعمل لآخرتك كأنك تموت غدا

“Bekerjalah untuk duniamu, seakan kamu hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu mati besok.”

Ungkapan ini sangat terkenal di bibir manusia saat ini dan mereka terkecoh dengan mengatakannya sebagai ucapan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Padahal para Imam Ahli Hadits telah menegaskan bahwa ini bukanlah hadits.

Syaikh Al Albani mengatakan: La ashala lahhu marfu’an (tidak ada dasarnya dari Rasulullah). (As Silsilah Adh Dha’ifah, 1/63. No. 8. Darul Ma’arif)

Namun, ungkapan ini memang ada secara mauquf (sebagai ucapan sahabat), yakni ucapan Abdullah bin Umar bin Al Khathab. (Ibnu Asy Syajari, Al Amali, 1/386. Mawqi’ Al Warraq) ada juga yang menyebut sebagai ucapan Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash. (Ibnu Abdi Rabbih, Al ‘Aqdul Farid, 2/469. Mawqi’ Al Warraq)

Ada juga ucapan yang mirip dengan ini juga dari Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash Radhiallahu ‘Anhu, dengan kalimat sedikit berbeda yakni “ Uhruz lid Duniaka (Jagalah untuk duniamu) ...’, bukan “ I’mal lid Duniaka (bekerjalah untuk duniamu) ..”


أحزر لدنياك كأنك تعيش أبدا ، واعمل لآخرتك كأنك تموت غدا
“Jagalah untuk duniamu, seakan kamu hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan kamu mati besok.” (Lihat Musnad Al Harits, No. 1079. Mawqi’ Jami’ Al Hadits. Lalu Imam Nuruddin Al Haitsami, Bughiyatul Bahits ‘an Zawaid Musnad Al Harits, Hal. 327. Dar Ath Thala’i Lin Nasyr wat Tauzi’ wat Tashdir. Lihat juga, Al Hafizh Ibnu Hajar, Al Mathalib Al ‘Aliyah, No. 3256. Mauqi’ Jami’ Al Hadits.)

Dalam sumber yang lain disebutkan bahwa ini adalah ucapan dari Abu Darda Radhiallahu ‘Anhu dan Abdullah bin Amru bin Al ‘Ash juga, dengan ungkapan yang juga agak berbeda yakni “Ihrits lid Duniaka (tanamlah untuk duniamu) ..... dst. (Lihat Imam Ar Raghib Al Ashfahani, Muhadharat Al Adiba’, 1/226. Mawqi’ Al Warraq. Lihat Ibnu Qutaibah, Gharibul Hadits, 1/81, pada Juz 2, Hal.123, beliau menyebutkan bahwa makna Ihrits adalah kumpulkanlah. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Jadi, ada tiga macam redaksi: I’malu (Bekerjalah), Uhruz (jagalah), dan Ihrits (tanamlah). Semua ini tidak satu pun yang merupakan ucapan Rasulullah, melainkan ucapan sahabat saja.

Bahkan ada juga sebagai berikut:

أصلحوا دنياكم ، و اعملوا لآخرتكم ، كأنكم تموتون غدا
“Perbaikilah oleh dunia kalian, dan bekerjalah untuk akhirat kalian, seakan kalian mati besok.” (HR. Al Qudha’i, No. 668. Mawqi’ Jami’ Al Hadits)

Hadits ini tanpa ada bagian, “Seakan kau hidup selamanya.” Hadits ini dhaif jiddan (sangat lemah). Lantaran di dalam sanadnya terdapat Miqdam bin Daud dan Sulaiman bin Arqam. Syaikh Al Albani mengatakan dua orang ini adalah perawi dhaif. (As Silsilah Adh Dha’ifah, 2/266. No. 874. Darul Ma’arif)

Imam Al Haitsami mengatakan bahwa Miqdam bin Daud adalah dhaif. (Majma’ Az Zawaid, 5/120. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Sementara, Al ‘Allamah Muhammad Thahir bin ‘Ali Al Hindi berkata tentang Sulaiman bin Arqam: matruk (haditsnya ditinggalkan). (Tadzkirah Al Maudhu’at, Hal. 113. Mawqi’ Ya’sub) Begitu pula Al ‘Allamah Alauddin Al Muttaqi Al Hindi juga menyebutnya matruk. (Kanzul ‘Umal, 7/183. No. 18596. Masasah Ar Risalah)

Sedangkan Al Haitsami mengatakan: dhaif. (Majma’ Az Zawaid, 2/69) dan matruk. (Ibid, 2/112) Imam An Nasa’i dan Imam Ad Daruquthni juga mengatakan matruk. (Al Hazfizh Az Zaila’i, Nashbur Rayyah, 1/188. Mawqi’ Al Islam) Sedangkan Az Zaila’i sendiri berkomentar tentang Sulaiman bin Arqam: dhaif menurut para ahli hadits. (Ibid, 1/190. Lihat juga Al Hafizh Al Mizzi, Tuhfatul Asyraf, 13/380. Al Maktab Al Islami) Al Hafizh Ibnu Hajar juga mengatakan: matruk. (At Talkhish Al Habir, 1/655. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Selain dua orang ini, sanad hadits ini juga terdapat ‘Isa bin Waqid yang tidak diketahui identitasnya. Al Haitsami berkata: “Aku belum mendapatkan siapa saja yang menyebutkan tentang dia.” (Majma’ Az Zawaid, 1/293) Syaikh Al Albani sendiri mengatakan: Aku tidak mengenalnya.(As Silsilah Adh Dha’ifah, 2/266. No. 874)

Dengan demikian jelaslah bahwa hadits ini sangat lemah. Wallahu A’lam

Catatan:

Walau ini bukan hadits nabi, sekadar ucapan sahabat nabi saja. Secara esensi ini adalah ucapan yang baik yakni mengajarkan keseriusan dalam ibadah untuk akhirat dan bekerja untuk dunia. Sebab jika keadaannya dibalik, jika manusia beribadah merasa hidup selamanya, dia akan meremehkan ibadah tersebut sebab dia bisa melaksanakannya di lain waktu. Juga jika bekerja untk dunia justru merasa besok akan mati, maka dia tidak akan semangat kerja sebab dia merasa apa yang dikerjakannya adalah percuma saja, karena besok sudah mati.

Jadi, inti kalimat ini mengajarkan profesionalisme dalam bekerja dan ibadah. Namun demikian, sikap berlebihan dalam kedua hal ini juga bukan sikap yang dibenarkan dalam Islam. Sebab Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersaba:

ما قل و كفى خير مما كثر و ألهى
“Apa pun yang sedikit tapi mencukupi, adalah lebih baik dibanding yang banyak tetapi melalaikan.” (HR. Ahmad No. 20728. Ibnu Abi Syaibah, Al Mushannaf, 7/82, No. 7. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Awsath, No. 2640 dan 3001. Ath Thabari, Tahdzibul Atsar, No. 2496. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 9986. Musnad Asy Syihab Al Qudha’i No. 1165. Musnad Ath Thayalisi, No. 1061. Al Hakim, Al Mustadrak ‘alash Shahihan, No. 3620. Katanya: shahih, dan Bukhari-Muslim tidak mengeluarkannya. Ibnu Hibban memasukkannya dalam kitab Shahih-nya No. 3329)

2.      Hadits Mengusap Dahi dan Wajah Setelah Shalat

Dalam hal ini ada dua hadits. Hadits pertama, dari Anas bin Malik, katanya:

كان إذا قضى صلاته مسح جبهته بيده اليمنى ثم قال : أشهد أن لا إله إلا الله الرحمن الرحيم ، اللهم أذهب عني الهم و الحزن

“Adalah Rasulullah jika telah selesai shalat, maka dia usapkan wajahnya dengan tangan kanannya, kemudian berkata: “Aku bersaksi tiada Ilah kecuali Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang, Ya Allah hilangkanlah dariku kegelisahan dan kesedihan.” ( HR. Ibnu Sunni ,‘Amalul Yaum wal lailah, No. 110, dan Ibnu Sam’un, Al Amali, 2/176q).

Hadits ini dhaif jiddan (sangat lemah), bahkan sebagian ulama mengatakan: maudhu’ (palsu).

Imam Ibnu Rajab Al Hambali berkata dalam Fathul Bari-nya:

وله طرق عن أنس ،كلها واهية .
“Hadits ini memiliki banyak jalan dari Anas bin Malik, semuanya lemah.” (Imam Ibnu Rajab Al Hambali, Fathul Bari, pembahasan hadits no. 836. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Sanad hadits ini adalah dari Salam Al Madaini, dari Zaid Al ‘Ami dari Mu’awiyah, dari Qurrah, dari Anas ... (lalu disebutkan hadts di atas)

Cacatnya hadits ini lantaran Salam Al Madaini dan Zaid Al ‘Ami. Salam Al Madaini adalah orang yang dtuduh sebagai pendusta, sedangkan Zaid Al ‘Ami adalah perawi dhaif. Oleh karena itu, Syaikh Al Albani mengatakan, sanad hadits ini palsu. Hanya saja, hadits ini juga diriwayatkan dalam sanad lainnya yang juga dhaif. Secara global, hadits ini dhaif jiddan. (Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Silsilah Ad Dhaifah wal Maudhu’ah, No. 1058. Darul Ma’arif)

Sementara, Imam Al Haitsami mengutip dari Al Bazzar, bahwa Salam Al Madaini adalah layyinul hadits (haditsnya lemah). (Imam Al Haitsami, Majma’ az Zawaid, 10/47. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Al Haitsami juga mengatakan bahwa Zaid Al ‘Ami adalah dhaif (lemah). (Ibid,1/230) Imam Al Baihaqi juga menyatakan bahwa Zaid Al ‘Ami adalah dhaif. (Al ‘Allamah Ibnu At Turkumani, Al Jauhar, 3/46. Darul Fikr) begitu pula kata Imam Al ‘Iraqi. (Takhrijul Ihya’, 6/290)

Al ‘Allamah As Sakhawi mengatakan, lebih dari satu orang menilai bahwa Zaid Al ‘Ami adalah tsiqah (bisa dipercaya), namun jumhur (mayoritas) menilainya dhaif. (As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, 4/486) yang menilainya tsiqah adalah Imam Ahmad. (Ibid, 2/400) Imam Ahmad juga mengatakan: shalih (baik). (Ibnu Al Mubarrad, Bahr Ad dam, Hal. 58. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Sementara Imam An Nasa’i mengatakan Zaid Al ‘Ami sebagai laisa bil qawwi (bukan orang kuat hafalannya). (Al Hafizh Az Zaila’i, Nashbur Rayyah, 7/185. Lihat Abul Fadhl As Sayyid Al Ma’athi An Nuri, Al Musnad Al Jami’, 14/132) begitu pula kata Imam Abu Zur’ah. (Al Hafiz Abdurrahman bin Abi Hatim Ar Razi, Al Jarh wat Ta’dil, 3/561. Dar Ihya At Turats)

Hadits kedua, dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu katanya:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا قضى صلاته مسح جبهته بكفه اليمنى ، ثم أمرها على وجهه حتى يأتي بها على لحيته ويقول : « بسم الله الذي لا إله إلا هو عالم الغيب والشهادة الرحمن الرحيم ، اللهم أذهب عني الغم والحزن والهم ، اللهم بحمدك انصرفت وبذنبي اعترفت ، أعوذ بك من شر ما اقترفت ، وأعوذ بك من جهد بلاء الدنيا ومن عذاب الآخرة »

“Adalah Rasulullah Shallalllahu ‘Alaihi wa Sallam jika telah selesai shalatnya, beliau mengusap dahinya dengan tangan kanan, kemudian ilanjutkan ke wajah sampai jenggotnya. Lalu bersabda: “Dengan nama Allah yang Tidak ada Ilah selain Dia, yang Maha Mengetahui yang Ghaib dan Yang Tampak, Maha Pengasih dan Penyayang. Ya Allah hilangkanlah dariku kegelisahan, kesedihan, dan keresahan. Ya Allah dengan memujiMu aku beranjak dan dengan dosaku aku mengakuinya. Aku berlindung kepadaMu dari keburukan yang telah aku akui, dan aku berlidung kepadaMu dari beratnya cobaan kehidupan dunia dan siksaan akhirat.” (HR. Abu Nu’aim, Akhbar Ashbahan, No. 40446. Mawqi’ Jami’ Al Hadits)

Hadits ini dhaif (lemah). Karena di dalam sanadnya terdapat Daud Al Mihbar pengarang kitab Al ‘Aql.

Imam Al Bukhari berkata tentang dia: munkarul hadits. Imam Ahmad mengatakan: Dia tidak diketahui apa itu hadits. (Imam Al Bukhari, At Tarikh Al Kabir, No. 837. Mawqi’ Ya’sub. Lihat juga kitab Imam Bukhari lainnya, Adh Dhu’afa Ash Shaghir, Hal. 45. Darul Ma’rifah. Lihat juga Al Hafizh Al ‘Uqaili, Dhu’afa, 2/35. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah )

Al Hafizh Az Zarkili mengatakan mayoritas ulama menilainya dhaif. (Khairuddin Az Zarkili, Al A’lam, 2/334. Darul ‘Ilmi wal Malayin)

Ali Maldini mengatakan Daud ini: haditsnya telah hilang. Abu Zur’ah dan lainnya mengatakan: dhaif (lemah). Ad Daruquthni mengatakan: matruk (haditsnya ditinggalkan). Abu Hatim mengatakan: haditsnya hilang dan tidak bisa dipercaya. Ad Daruquthni mengatakan bahwa Daud Al Mihbar dalam kitab Al ‘Aql telah memalsukan riwayat Maisarah bin Abdi Rabbih, lalu dia mencuri sanadnya dari Maisarah, dan membuat susunan sanad bukan dengan sanadnya Maisarah. Dia juga pernah mencuri sanad dari Abdul Aziz bin Abi Raja’, dan Sulaiman bin ‘Isa Al Sajazi. (Imam Adz Dzahabi, Mizan Al I’tidal, 2/20. No. 2646. Darul Ma’rifah) Abu Hatim juga mengatakan: munkarul hadits. (Abdurrahman bin Abi Hatim, Al Jarh wat Ta’dil, 3/424, No. 1931)

Bahkan, Syaikh Al Albani dengan tegas mengatakan sanad hadits ini adalah maudhu’ (palsu) lantaran perilaku Daud yang suka memalsukan sanad ini. Beliau mengatakan Daud adalah orang yang dituduh sebagai pendusta. Sedangkan untuk Al Abbas bin Razin As Sulami, Syaikh Al Albani mengatakan: aku tidak mengenalnya. (Syaikh Al AlBani, As Silsilah Adh Dhaifah wal Maudhu’ah, No. 1059. Darul Ma’arif)

Catatan:

Walaupun hadits-hadits ini sangat lemah dan tidak boleh dijadikan dalil, namun telah terjadi perbedaan pendapat para ulama tentang mengusap wajah jika sekadar untuk membersihkan bekas-bekas sujud, seperti pasir, debu, tanah, dan lainnya. Di antara mereka ada yang membolehkan, ada juga yang memakruhkan.

Al Hafizh Al Imam Ibnu Rajab Rahimahullah mengatakan:



فأما مسح الوجه من أثر السجود بعد الصلاة ، فمفهوم ما روي عن ابن مسعودٍ وابن عباسٍ يدل على أنه غير مكروهٍ.
وروى الميموني ، عن أحمد ، أنه كان اذا فرغ من صلاته مسح جبينه .

“Adapun mengusap wajah dari bekas sujud setelah shalat selesai, maka bisa difahami dari apa yang diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas, yang menunjukkan bahwa hal itu tidak makruh. Al Maimuni meriwayatkan dari Imam Ahmad, bahwa dia mengusap dahinya jika selesai shalat.” (Imam Ibnu Rajab Al Hambali, Fathul Bari, pembahasan hadits no. 836. Mawqi’ Ruh Al Islam)

Sebagian ulama lain memakruhkannya, bahkan mengusap wajah merupakan penyebab hilangnya doa pengampunan dari malaikat. Berikut penjelasan dari Imam Ibnu Rajab:


وكرهه طائفة ؛ لما فيه من إزالة أثر العبادة ، كما كرهوا التنشيف من الوضوء والسواك للصائم .
وقال عبيد بن عميرٍ : لا تزال الملائكة تصلي على إلانسان ما دام أثر السجود في وجهه .
خَّرجه البيهقي بإسنادٍ صحيحٍ .
وحكى القاضي أبو يعلي روايةً عن أحمد ، أنه كان في وجهه شيء من أثر السجود فمسحه رجل ، فغضب ، وقال : قطعت استغفار الملائكة عني . وذكر إسنادها عنه ، وفيه رجل غير مسمىً .
وبوب النسائي ((باب : ترك مسح الجبهة بعد التسليم )) ، ثم خرج حديث أبي سعيد الخدري الذي خَّرجه البخاري هاهنا ، وفي آخره : قال ابو سعيدٍ : مطرنا ليلة أحدى وعشرين ، فوكف المسجد في مصلى النبي - صلى الله عليه وسلم - ، فنظرت إليه وقد انصرف من صلاة الصبح ، ووجهه مبتل طيناً وماءً .

“Sekelompok ulama memakruhkannya, dengan alasan hal itu merupakan penghilangan atas bekas-bekas ibadah, sebagaimana mereka memakruhkan mengelap air wudhu (dibadan) dan bersiwak bagi yang berpuasa. Berkata ‘Ubaid bin ‘Amir: “Malaikat senantiasa bershalawat atas manusia selama bekas sujudnya masih ada di wajahnya.” (Riwayat Al Baihaqi dengan sanad shahih)

Al Qadhi Abu Ya’la menceritakan sebuah riwayat dari Imam Ahmad, bahwa ada bekas sujud di wajahnya lalu ada seorang laki-laki yang mengusapnya, maka beliau pun marah, dan berkata: “Kau telah memutuskan istighfar-nya malaikat dariku.” Abu Ya’la menyebutkan sanadnya darinya, dan didalamnya terdapat seseorang yang tanpa nama.

Imam An Nasa’i membuat bab: Meninggalkan Mengusap Wajah Setelah Salam. Beliau mengeluarkan sebuah hadits dari Abu Said Al Khudri, yang telah dikeluarkan pula oleh Imam Bukhari di sini, di bagian akhirnya berbunyi: Berkata Abu Said: “Kami kehujanan pada malam ke 21 (bulan Ramadhan), lalu air di masjid mengalir ke tempat shalat Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka kami memandang kepadanya, beliau telah selesai dari shalat subuh, dan wajahnya terlihat sisa tanah dan air.” (Ibid)

3.      Hadits Keutamaan Memakai Surban

العمامة على القلنسوة فصل ما بيننا وبين المشركين يعطى يوم القيامة بكل كورة يدورها على رأسه نورا (البارودي عن ركانة).
Surban yang dililitkan ke peci (kopiah) merupakan pemisah antara kita dan kaum musyrikin, pada hari kiamat nanti setiap lilitan surban dikepalanya akan datang dalam bentuk cahaya.” (Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Umal, No. 41134. Diriwayatkan oleh Al Bawardi dari Rukanah)

Al ‘Allamah Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani Rahimahullah memberikan keterangan sebagai berikut:

باطل رواه الباوردي عن ركانة مرفوعا كما في " الجامع الصغير " و بيض المناوي له فلم يتكلم عليه بشيء . و قال الشيخ الكتاني في " الدعامة " ( ص 7 ) : " إن سنده واه " . يعني أنه ضعيف جدا كما في الصفحة ( 34 ) منه . و قد صرح بشدة ضعف هذا الحديث الفقيه أحمد بن حجر الهيتمي في كتابه " أحكام اللباس " ( ق 9/2 ) فقال : " و لولا شدة ضعف هذا الحديث لكان حجة في تكبير العمائم " . قلت : و الحديث عندي باطل لأن تكثير كورات العمامة خلاف هدي النبي صلى الله عليه وسلم فيها ، بل هو من ثياب الشهرة المنهي عنها في أحاديث خرجت بعضها في آخر كتابي " حجاب المرأة المسلمة " .
و الشطر الأول من الحديث رواه الترمذي و ضعفه ، و هو مخرج في " الإرواء " (1503 ) .

“Hadits ini batil. Diriwayatkan oleh Al Bawardi dari Rukanah secara marfu’, sebagaimana tertera dalam Al Jami’ Ash Shaghir. Al Munawi telah memutihkannya (maksudnya membelanya, pen) tetapi tidak berpengaruh sedikit pun. Berkata Syaikh Al Kattani dalam Ad Da’amah (Hal. 7): “Sanadnya dhaif.” Yakni sangat dhaif sebagaimana dijelaskan dalam halaman 34 dari kitabnya. Al Faqih Ahmad bin Hajar Al Hatami telah menguatkan kedhaifan hadits ini dalam kitabnya Ahkam Al Libas (2/9Q), dengan berkata: “Seandainya tidak sangat dhaif, niscaya hadits ini menjadi hujjah penghormatan terhadap surban.”

Aku (Syaikh Al Albani) berkata: “Hadits ini menurutku adakah batil, karena memperbanyak melilitkan surban justru bertentangan dengan petunjuk Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, bahkan hal itu merupakan pakaian kemasyhuran yang telah dilarang oleh hadits-hadits yang sebagian telah saya keluarkan dalam kitab Hijab Al Mar’ah Al Muslimah.

Bagian awal hadits ini juga dirwayatkan oleh At Tirmidzi dan dhaif, dan itu sudah dicantumkan dalam Al Irwa’ (No. 1503). (As Silsilah Adh Dhaifah, 3/362, No. 1217. Darul Ma’arif)

Dalam hadits lain berbunyi:

من اعتم فله بكل كورة حسنة ، فإذا حط فله بكل حطة حطة خطيئة

“Barangsiapa yang menggunakan surban, maka pada setiap liliannya adalah satu kebaikan, dan jika dilepaskan lilitannya maka setiap satu kali lepasan lilitan menghapuskan satu kesalahan.”

Syaikh Al Albani juga mengatakan bahwa hadits ini maudhu’ , dan Imam Ibnu Hajar Al Haitami juga menyebtkannya dalam Ahkam Al Libas. (Ibid, No. 718)

Catatan:

Walau hadits ini dhaif, kita mengakui bahwa memakai surban merupakan kebiasaan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan para sahabatnya, sebagaimana dijelaskan dalam Kutubush Shahhah (Kitab hadits-hadits shahih) khususnya dalam bab-bab tentang wudhu. Sehingga, memakai surban telah menjadi identitas yang baku bagi seorang laki-laki muslim dari zaman-zaman. Namun, demikian tak ada satu pun riwayat shahih yang menyebutkan keutamaan-keutamaannya. Wallahu A’lam wa ilaihil musytaki ...

Syaikh Al Albani telah memberi komentar atas hadits ini:

و هذا الحديث و أمثاله من أسباب انتشار البدع في الناس ، لأن أكثرهم حتى من المتفقهة لا تمييز عندهم بين الصحيح و الضعيف من الحديث ، و قد يكون موضوعا ، و لا علم عنده بذلك فيعمل به و تمر الأعوام و هو على ذلك فإذا نبه على ضعفه بادرك بقوله : لا بأس ، يعمل بالحديث الضعيف في فضائل الأعمال ! و هو جاهل بأن الحديث موضوع أو شديد الضعف كهذا ، و مثله لا يجوز العمل به اتفاقا ، و إني لأذكر شيخا كان يؤم الناس في بعض مساجد حلب ، على رأسه عمامة ضخمة تكاد لضخامتها تملأ فراغ المحراب الذي كان يصلي فيه! فإلى الله المشتكى مما أصاب المسلمين من الانحراف عن دينهم بسبب الأحاديث الضعيفة و القواعد المزعومة ؟

“Hadits ini dan yang semisalnya merupakan sebab tersebarnya bid’ah dikalangan manusia, lantaran kebanyakan mereka sampai-sampai orang-orang yang sudah faham fiqih pun tidak bisa membedakan antara shahih dan dhaif, dan palsu-nya hadits. Dia tidak mengetahui hal itu, lalu mengamalkannya dan orang banyak melihat dia seperti itu. Jika, dikabarkan kepadanya bahwa hadits tersebut dhaif (lemah), serta merta dia menanggapi dengan ucapan; “Tidak apa-apa mengamalkan hadits dhaif untuk masalah fadhailul amal!” ini adalah kebodohan, karena hadits palsu atau hadits dhaif yang amat sangat, dan hadits yang semisalnya, telah disepakati oleh para ulama tidak boleh diamalkan. Sesungguhnya saya (Syaikh Al Albani) masih ingat tentang seorang syaikh yang mengimami manusia di sebagian masjid di daerah Halab, dia memakai surban yang sangat lebar di kepalanya, saking lebarnya surban itu memenuhi bagian kosong mihrab tempatnya shalat! Maka, hanya kepada Allah tempat mengadu terhadap apa-apa yang menimpa kaum muslimin berupa penyimpangan mereka dari agama mereka, disebabkan oleh hadits-hadits lemah dan kaidah yang maz’um (dikira benar). (Ibid)

4.      Allah Ta’ala Menolak Amal Ibadah Pelaku Bid’ah

Dari Ibnu Abbas Radhilallahu ‘Anhuma, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أَبَى اللَّهُ أَنْ يَقْبَلَ عَمَلَ صَاحِبِ بِدْعَةٍ حَتَّى يَدَعَ بِدْعَتَهُ
Allah menolak amalan pelaku bid’ah sampai orang itu meninggalkan perbuatan bid’ahnya.” (HR. Ibnu Majah, No. 50. Ibnu Abi ‘Ashim, As Sunnah, No. 32)

Hadits ini dhaif. Berkata Imam Abul Hasan Muhammad bin Abdil Hadi As Sindi Rahmahullah:

وَفِي الزَّوَائِد رِجَال إِسْنَاد هَذَا الْحَدِيث كُلّهمْ مَجْهُولُونَ قَالَهُ الذَّهَبِيّ

Dalam Az Zawa’id disebutkan bahwa para periwayat (rijal) hadits ini semuanya majhul (tidak dikenal), itulah yang dikatakan Adz Dzahabi.”(Imam Abul Hasan As Sindi, Hasyiyah ‘Ala Ibni Majah, No. 49. Mauqi’ Ruh Al Islam)

Sanad hadits ini adalah dari Abdullah bin Sa’id, dari Bisyr bin Manshur, dari Abu Zaid, dari Abu Al Mughirah, dari Ibnu Abbas, lalu disebutkan hadits di atas.

Al Hafizh Al Mizzi mengatakan:

سئل أبو زرعة الرازي عن أبي المغيرة؟ فقال: هو وبشر بن منصور مجهولان، لا أعرفهما

Imam Abu Zur’ah ditanya tentang Abu Al Mughirah, beliau menjawab: “Dia dan Bisyr bin Manshur adalah majhul (tidak dikenal), aku tidak mengenal keduanya.” (Al Hafizh Al Mizzi, Tuhfatul Asyraf, No. 6569. Al Maktab Al Islami)

Sedangkan, Syaikh Al Albani menyebutkan bahwa hadits ini munkar. (As Silsilah Adh Dha’ifah, No. 1492. Al Maktab Al Islami)

Ada hadits lain dari Hudzaifah yang berbunyi lebih mendetil:

لَا يَقْبَلُ اللَّهُ لِصَاحِبِ بِدْعَةٍ صَوْمًا وَلَا صَلَاةً وَلَا صَدَقَةً وَلَا حَجًّا وَلَا عُمْرَةً وَلَا جِهَادًا وَلَا صَرْفًا وَلَا عَدْلًا يَخْرُجُ مِنْ الْإِسْلَامِ كَمَا تَخْرُجُ الشَّعَرَةُ مِنْ الْعَجِينِ
Allah Tidak menerima amalan pelaku bid’ah, baik puasanya, shadaqah, haji, umrah, jihad, ibadahnya, dan keadilannya. Dia keluar dari Islam seperti tercabutnya rambut dari tepung.” (HR. Ibnu Majah, No. 49)

Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini lebih buruk dari sebelumnya, dan dia menyatakan hadits ini palsu (maudhu’). (As Silsilah Adh Dha’ifah, No. 1493)

Hal ini disebabkan karena di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Mihshan. Imam Al Haitsami mengatakan:

Dia adalah pendusta dan pemalsu hadits.” (Imam Al Haitsami, Majma’ Az Zawaid, 1/82. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Al Hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani menyebutkan bahwa Muhammad bin Mihshan ini disebut pendusta oleh Imam Yahya bin Ma’in. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, 3/245)

Imam Ibnu Hibban mengatakan, bahwa Muhammad bin Mihshan adalah seorang syaikh pemalsu hadits yang dia kutip dari orang-orang terpercaya, tidak halal menyebutkan dirinya kecuali di dalamnya mesti ada cacatnya. (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 2/277)

Lebih lengkap lagi dalam Tahdzibut Tahdzib sederetan para Imam Ahli Hadits yang memberikan Jarh (penilaian cacat) untuk Muhammad bin Mihshan ini, seperti Bukhari, Yahya bin Ma’in, Ahmad, Ad Daruquthni, Abu Hatim, Ibnu Hibban, Al ‘Uqaili, semuanya menilai dengan sebutan yang berbeda-beda seperti: pemalsu hadits, pendusta, munkarul hadits, matruk (haditsnya ditinggal), dan majhul (tidak dikenal). (Lihat Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzib At Tahdzib, 9/381.Darul Fikr)

Catatan:

Para pelaku bid’ah, amalan bid’ah yang dilakukannya adalah tertolak, bahkan dia telah melakukan kesesatan yang berdosa, sebagaimana diterangkan dalam hadits-hadits shahih. Namun demikian jika dia melakukan amal shalih yang sesuai sunah di lain waktu, maka hal itu tetap diterima dan berpahala. Hal ini sesuai dengan ayat:

Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya. Dan Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya Dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Az Zalzalah (99): 7-8)

Di sisi lain, orang yang melakukan bid’ah, lalu bertobat dari bid’ahnya itu, tetapi sayangnya dia masih melaksanakan bid’ahnya itu maka tobatnya sia-sia. Hal ini ditegaskan dalam hadits shahih berikut:
Dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

إن الله حجب التوبة عن صاحب كل بدعة

Sesungguhnya Allah menutup taubat dari pelaku seiap bid’ah.” (HR. Ath Thabarani, Al Mu’jam Al Awsath, No. 4353. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 9137. Ibnu Abi ‘Ashim, As Sunnah, No. 30. Al Haitsami mengatakan perawi hadits ini adalah perawi hadits shahih, kecuali Harun bin Musa Al Farawi, dia tsiqah (bisa dipercaya). Majma’ Az Zawaid, 10/189. Syaikh Al Albani menshahihkan dalam Zhilalul Jannah, No. 37. Al Maktab Al Islami)

Al Imam An Nawawi juga menegaskan tentang perkataan para ulama dalam kitabnya yang terkenal, Riyadhush Shalihin, tentang syarat-syarat diterimanya taubat, diantaranya adalah harus meninggalkan perbuatan dosa tersebut. Berikut keterangan Imam An Nawawi Rahimahullah:

قال العلماء: التوبة واجبةٌ من كل ذنبٍ، فإن كانت المعصية بين العبد وبين الله تعالى لا تتعلق بحق آدميٍ؛ فلها ثلاثة شروطٍ: أحدها: أن يقلع عن المعصية.
والثاني: أن يندم على فعلها.
والثالث: أن يعزم أن لا يعود إليها أبداً. فإن فقد أحد الثلاثة لم تصح توبته. وإن كانت المعصية تتعلق بآدميٍ فشروطها أربعةٌ: هذه الثلاثة، وأن يبرأ من حق صاحبها؛ فإن كانت مالاً أو نحوه رده إليه، وإن كانت حد قذفٍ ونحوه مكنه منه أو طلب عفوه، وإن كانت غيبةً استحله منها.

Berkata para ulama: “Tobat adalah wajib dari semua dosa, jika maksiatnya adalah antara seorang hamba dengan Allah Ta’ala, yang tidak terkait dengan manusia, maka syarat tobatnya ada tiga:
1.      Meninggalkan maksiat tersebut
2.      Membenci/menyesali perbuatan tersebut
3.      Berjanji tidak mengulanginya selamanya.

Jika salah satu saja tidak ada, maka tobatnya tidak sah. Dan, jika maksiatnya adalah terkait dengan manusia, maka syaratnya ada empat; yaitu yang tiga di atas, dan yang keempat adalah: menyelesaikan urusannya kepada orang yang berhak. Jika kesalahannya dalam bentuk harta maka dia harus mengembalikannya. Jika dia melemparkan tuduhan, maka dia meminta maaf kepada yang dituduh. Jika dia melakukan ghibah, maka dia meminta untuk dihalalkan (dimaafkan). (Imam An Nawawi, Riyadhus Shalihin, Hal. 3-4. Mawqi’ Al Warraq)
Demikian. Wallahu A’lam

(Bersambung Insya Allah)

Dikira Hadits Padahal Bukan 3




Oleh: Farid Nu’man

1.       Hadits: “Hikmah adalah kepunyaan orang mukmin yang hilang, di mana saja dia menemukannya maka dialah yang paling berhak memilikinya.”

Hadits ini dhaif, diriwayatkan oleh Imam At Tirmidzi dalam sunannya, pada Bab Maa Ja’a fil Fadhli Fiqh ‘alal ‘Ibadah, No. 2828. Dengan sanad: Berkata kepada kami Muhammad bin Umar Al Walid Al Kindi, bercerita kepada kami Abdullah bin Numair,  dari Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi, dari Sa’id Al Maqbari, dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda: .... ( lalu disebut hadits di atas).

  Imam At Tirmidzi mengomentari hadits tersebut: “Hadits ini gharib (menyendiri dalam periwayatannya), kami tidak mengetahuinya kecuali dari jalur ini. Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi adalah seorang yang dhaif fil hadits (lemah dalam hadits).”

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah, Kitab Az Zuhud Bab Al Hikmah, No. 4169. Dalam sanadnya juga terdapat Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi.

Imam Ibnu Hajar mengatakan, bahwa Ibrahim bin Al Fadhl Al Makhzumi adalah Abu Ishaq Al Madini, dia seorang yang Fahisyul Khatha’ (buruk kesalahannya). (Al Hafizh Ibnu Hajar, Lisanul Mizan, 1/14. Mawqi’ Al Warraq). Sementara Imam Yahya bin Ma’in menyebutnya sebagai Laisa bi Syai’ (bukan apa-apa). (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 1/105. Mawqi’ Ya’sub)

Sederetan para Imam Ahli hadits telah mendhaifkannya. Imam Ahmad mengatakan: dhaiful hadits laisa biqawwi fil hadits (haditsnya lemah, tidak kuat haditsnya). Imam Abu Zur’ah mengatakan: dhaif. Imam Abu Hatim mengatakan: dhaiful hadits munkarul hadits (hadisnya lemah dan munkar). Imam bukhari mengatakan: munkarul hadits. Imam An Nasa’i mengatakan: munkarul hadits, dia berkata ditempat lain: tidak bisa dipercaya, dan haditsnya tidak boleh ditulis. Abu Al Hakim mengatakan: laisa bil qawwi ‘indahum (tidak kuat menurut mereka/para ulama). Ibnu ‘Adi mengatakan: dhaif dan haditsnya boleh ditulis, tetapi menurutku tidak boleh berdalil dengan hadits darinya.

Ya’qub bin Sufyan mengatakan bahwa hadits tentang “Hikmah” di atas adalah hadits Ibrahim bin Al Fadhl yang dikenal dan diingkari para ulama. Imam Ibnu Hibban menyebutnya fahisyul khatha’ (buruk kesalahannya).  Imam Ad Daruquthni mengatakan: matruk (haditsnya ditinggalkan), begitu pula menurut Al Azdi. (Lihat semua dalam karya Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzibut Tahdzib, 1/131. Darul Fikr. Lihat juga Al Hafizh Al Mizzi, Tahdzibul Kamal, 2/43. Muasasah Ar Risalah. Lihat juga Imam Adz Dzahabi, Mizan Al I’tidal, 1/52. Darul Ma’rifah. Lihat juga Imam Abu Hatim Ar Razi, Al Jarh wat Ta’dil, 2/122. Dar Ihya At Turats. Lihat juga Imam Ibnu ‘Adi Al Jurjani, Al Kamil fidh Dhu’afa, 1/230-231. Darul Fikr. Imam Al ‘Uqaili, Adh Dhuafa Al Kabir, 1/60. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)

Syaikh Al Albani pun telah menyatakan bahwa  hadits ini dhaif jiddan (sangat lemah), lantaran Ibrahim ini. (Dhaiful Jami’ No. 4302. Dhaif Sunan At Tirmidzi, 1/320)

Ada pula yang serupa dengan hadits di atas:

الحكمة ضالة المؤمن حيث ما وجد المؤمن ضاله فليجمعها إليه

“Hikmah adalah kepunyaan orang mukmin yang hilang, di mana saja seorang mukmin menemukan miliknya yang hilang, maka hendaknya ia menghimpunkannya kepadanya.”

Imam As Sakhawi mengatakan, hadits ini diriwayatkan oleh Al Qudha’i dalam Musnadnya, dari hadits Al Laits, dari Hisyam bin Sa’ad, dari Zaid bin Aslam, secara marfu’. Hadits ini mursal. (Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, 1/105. Imam Al ‘Ajluni, Kasyful Khafa’, 1/363) 

Hadits mursal adalah hadits yang gugur di akhir sanadnya, seseorang setelah tabi’in. Kita lihat, riwayat Al Qudha’i ini, Zaid bin Aslam adalah seorang tabi’in, seharusnya dia meriwayatkan dari seorang sahabat nabi, namun sanad hadits ini tidak demikian, hanya terhenti pada Zaid bin Aslam tanpa melalui sahabat nabi. Inilah mursal. Jumhur (mayoritas) ulama dan Asy Syafi’i mendhaifkan hadits mursal.

Ada pula dengan redaksi yang agak berbeda, bukan menyebut Hikmah, tetapi Ilmu. Diriwayatkan oleh Al ‘Askari, dari ‘Anbasah bin Abdurrahman, dari Syubaib bin Bisyr, dari Anas bin Malik secara marfu’:

العلم ضالة المؤمن حيث وجده أخذه

“Ilmu adalah barang mukmin yang hilang, dimana saja dia menemukannya maka dia mengambilnya.”

Riwayat ini juga dhaif. ‘Anbasah bin Abdurrahman adalah seorang yang matruk (ditinggal haditsnya), dan Abu Hatim menyebutnya sebagai pemalsu hadits. (Taqribut Tahdzib, 1/758)

Ibnu Abi Hatim bertanya kepada ayahnya (Abu Hatim) tentang ‘Anbasah bin Abdurrahman, beliau menjawab: matruk dan memalsukan hadits. Selain itu, Abu Zur’ah juga ditanya, jawabnya: munkarul hadits wahil hadits (haditsnya munkar dan lemah). (Al Jarh wat Ta’dil, 6/403)

Ada pun Syubaib bin Bisyr, walau pun Yanya bin Ma’in menilainya tsiqah (bisa dipercaya), namun Abu Hatim dan lain-lainnya mengatakan: layyinul hadits. (haditsnya lemah). (Imam Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, 2/262)

Ada pula riwayat dari Sulaiman bin Mu’adz, dari Simak, dari ‘ikrimah, dari Ibnu Abbas, di antara perkataannya:

خذوا الحكمة ممن سمعتموها، فإنه قد يقول الحكمة غير الحكيم، وتكون الرمية من غير رام

“Ambillah hikmah dari siapa saja kalian mendengarkannya, bisa jadi ada perkataan hikmah yang diucapkan oleh orang yang tidak bijak, dan  dia menjadi anak panah yang bukan berasal dari pemanah.”

Ucapan ini juga dhaif. Lantaran kelemahan Sulaiman bin Muadz.  

Yahya bin Main mengatakan tentang dia: laisa bi syai’ (bukan apa-apa). Abbas mengatakan, bahwa Ibnu Main mengatakan: dia adalah lemah. Abu Hatim mengatakan: laisa bil matin (tidak kokoh). Ahmad menyatakannya tsiqah (bisa dipercaya). Ibnu Hibban mengatakan: dia adalah seorang rafidhah (syiah) ekstrim, selain itu dia juga suka menterbalikan hadits. An Nasai mengatakan: laisa bil qawwi (tidak kuat). (Mizanul I’tidal, 2/219)

Catatan:

Walaupun ucapan ini dhaif, tidak ada yang shahih dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Namun, secara makna adalah shahih. Orang beriman boleh memanfaatkan ilmu dan kemajuan yang ada pada orang lain, sebab hakikatnya dialah yang paling berhak memilikinya. Oleh karena itu, ucapan ini tenar dan sering diulang dalam berbagai kitab para ulama. Lebih tepatnya, ucapan ini adalah ucapan dari beberapa para sahabat dan tabi’in dengan lafaz yang berbeda-beda.

Dari Al Hasan bin Shalih, dari ‘Ikrimah, dengan lafaznya:

خذ الحكمة ممن سمعت، فإن الرجل يتكلم بالحكمة، وليس بحكيم، فتكون كالرمية، خرجت من غير رام

“Ambil-lah hikmah dari siapa pun yang engkau dengar, sesungguhnya ada seorang laki-laki yang berbicara dengan hikmah padahal dia bukan seorang yang bijak, dia menjadi bagaikan lemparan panah yang keluar dari orang yang bukan pemanah.” (Al Maqashid Al Hasanah, 1/105)

Ucapan ini adalah shahih dari ‘Ikrimah, seorang tabi’in senior, murid Ibnu Abbas. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan, Al Hasan bin Shalih bin Shalih bin Hay adalah seorang tsiqah, ahli ibadah, faqih, hanya saja dia dituduh tasyayyu’ (agak condong ke syi’ah). (Taqribut Tahdzib,  1/205)

Waki’ mengatakan Al Hasan bin Shalih adalah seseorang yang jika kau melihatnya kau akan ingat dengan Said bin Jubeir.  Abu Nu’aim Al Ashbahani mengatakan aku telah mencatat hadits dari 800 ahli hadits, dan tidak satu pun yang lebih utama darinya. Abu Ghasan mengatakan, Al Hasan bin Shalih lebih baik dari Syuraik. Sedangkan  Ibnu ‘Adi mengatakan, sebuah kaum menceritakan bahwa hadits yang diriwayatkan darinya adalah mustaqimah, tak satu pun yang munkar, dan menurutnya Al Hasan bin Shalih adalah seorang yang ahlush shidqi (jujur lagi benar).  Ibnu Hibban mengatakan, Al Hasan bin Shalih adalah seorang yang faqih, wara’, pakaiannya lusuh dan kasar, hidupnya diisi dengan ibadah, dan agak terpengaruh syi’ah (yakni  tidak meyakini adanya shalat Jumat). Abu Nu’aim mengatakan bahwa Ibnul Mubarak mengatakan Al Hasan bin Shalih tidak shalat Jumat, sementara Abu Nu’aim menyaksikan bahwa beliau shalat Jum’at.  Ibnu Sa’ad mengatakan dia adalah seorang ahli ibadah, faqih, dan hujjah dalam hadits shahih, dan agak tasyayyu’. As Saji mengatakan Al Hasan bin Shalih adalah seorang shaduq (jujur). Yahya bin Said mengatakan, tak ada yang sepertinya di Sakkah. Diceritakan dari Yahya bin Ma’in, bahwa Al Hasan bin Shalih adalah tsiqatun tsiqah (kepercayaannya orang terpercaya). (Tahdzibut Tahdzib, 2/250-251)

Hanya saja Sufyan Ats Tsauri memiliki pendapat yang buruk tentangnya. Beliau pernah berjumpa dengan Al Hasan bin Shalih di masjid pada hari Jum’at, ketika Al Hasan bin Shalih sedang shalat, Ats Tsauri berkata: “Aku berlindung kepada Allah dari khusyu’ yang nifaq.” Lalu dia mengambil sendalnya dan berlalu. Hal ini lantaran Al Hasan bin Shalih –menurut At Tsauri- adalah seseorang yang membolehkan mengangkat pedang kepada penguasa (memberontak). (Ibid, 2/249) Namun, jarh (kritik) ini  tidak menodai ketsiqahannya, lantaran ulama yang menta’dil (memuji) sangat banyak.

Selain itu, telah shahih dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu, katanya:

العلم ضالة المؤمن فخذوه ولو من أيدي المشركين ولا يأنف أحدكم أن يأخذ الحكمة ممن سمعها منه
“Ilmu adalah barang mukmin yang hilang, maka ambil-lah walau berada di tangan orang-orang musyrik, dan janganlah kalian menjauhkan  diri untuk mengambil hikmah itu dari orang-orang yang mendengarkannya.” (Ibnu Abdil Bar, Jami’  Bayan Al ilmi wa Fadhlihi, 1/482. Mawqi’ Jami Al Hadits)

Selesai.

2.       Ucapan: “Barangsiapa yang harinya sama dengan kemarin maka dia berada dalam kekurangan/aib/cela.”

من كان يومه مثل أمسه فهو في نقصان

                “Barangsiapa yang harinya sama dengan kemarin maka dia berada dalam kekurangan/aib/cela.”

                Ucapan ini sangat terkenal. Dikutip dari lisan ke lisan, tersebar dalam berbagai kesempatan ceramah keagamaan. Kebanyakan mereka mengatakan Rasulullah bersada, padahal ini bukan sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.

                Ini adalah ucapan Abu Sulaiman Ad Darani, seorang sufi generasi pertama, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Abu Nu’aim Al Ashbahani dalam Hilyatul Auliya’ (4/177. Mawqi’ Al Warraq), Imam Abul Faraj bin Al Jauzi dalam Shifatush Shafwah (1/469. Mawqi’ Al Warraq).

3.       Ucapan: “Kita kembali dari jihad kecil menuju jihad besar.”
                Ini hadits, walau tidak secara langsung berhubungan dengan puasa atau Ramadhan, namun amat sering dibaca ketika bulan Ramadhan.  Hadits itu berbunyi:
رجعنا من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبرقالوا: وما الجهاد الأكبر؟ قال: جهاد القلب.

                “Kita kembali dari Jihad kecil menuju jihad besar.” Mereka bertanya: “Apakah jihad paling besar itu?” Beliau bersabda: “Jihad hati.”
                Berkata Imam Zainuddin Al ‘Iraqi:
أخرجه البيهقي في الزهد من حديث جابر وقال : هذا إسناد فيه ضعف .

Diriwayatkan oleh Al Baihaqi dalam kitab az Zuhd dari hadits Jabir, dia berkata: “Di dalam sanadnya dha’if.” (Imam Al ‘Iraqi, Takhrijul Ahadits Al Ihya’, No. 2567)
Begitu pula disebutkan dalam  Tadzkirah Al Maudhu’at, bahwa hadits ini dhaif. ( Al ‘Allamah Muhammad Thahir bin Ali Al Hindi Al Fatani, Tadzkirah Al Maudhu’at, Hal. 191)
Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam Tasdidul Qaus bahwa ini adalah ucapan Ibrahim bin Abi ‘Ablah seorang tabi’in, sebagaimana dikatakan Imam An Nasa’i dalam Al Kuna. (Imam As Suyuthi, Ad Durar Muntatsirah fil Ahadits Musytahirah, Al ‘Ajluni, Hal. 11. Mawqi’ Al Warraq. Imam Al Ajluni,  Kasyful Khafa, No. 1362. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memberikan komentar terhadap hadits itu sebagai berikut:
فَلَا أَصْلَ لَهُ وَلَمْ يَرْوِهِ أَحَدٌ مِنْ أَهْلِ الْمَعْرِفَةِ بِأَقْوَالِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَفْعَالِهِ وَجِهَادُ الْكُفَّارِ مِنْ أَعْظَمِ الْأَعْمَالِ ؛ بَلْ هُوَ أَفْضَلُ مَا تَطَوَّعَ بِهِ الْإِنْسَانُ قَالَ اللَّهُ تَعَالَى : { لَا يَسْتَوِي الْقَاعِدُونَ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ غَيْرُ أُولِي الضَّرَرِ وَالْمُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ فَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ بِأَمْوَالِهِمْ وَأَنْفُسِهِمْ عَلَى الْقَاعِدِينَ دَرَجَةً وَكُلًّا وَعَدَ اللَّهُ الْحُسْنَى وَفَضَّلَ اللَّهُ الْمُجَاهِدِينَ عَلَى الْقَاعِدِينَ أَجْرًا عَظِيمًا }
                “Tidak ada dasarnya, dan tidak diriwayatkan oleh seorang pun ahli ma’rifah (ulama) sebagai ucapan dan perbuatan Nabi Shallallahu ‘Alahi wa Sallam. Dan, jihad melawan orang kafir termasuk amal yang paling agung, bahkan dia adalah tathawwu’ (anjuran) yang paling utama bagi manusia. Allah Ta’ala berfirman: “Tidaklah sama orang-orang beriman yang duduk (tidak pergi jihad) tanpa memiliki udzur (alasan yang benar), dibanding orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya. Allah mengutamakan satu derajat bagi orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya di atas orang-orang yang duduk saja. Kepada masing-masing mereka Allah menjajnjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang-orang yang duduk dengan pahala yang besar.” (QS. An Nisa: 95). (Majmu’ Fatawa, 2/487. Mawqi’ Al Islam)
Imam Al ‘Iraqi mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al Baihaqi dalam kitab Az Zuhd, namun setelah dicek ke kitab Zuhd Al Kabir-nya Imam Al Baihaqi, ternyata tidak ada hadits dengan redaksi seperti di atas (Kita kembali dari jihad kecil menuju jihad besar). Tetapi yang ada adalah:

قدمتم خير مقدم من الجهاد الأصغر إلى الجهاد الأكبر . قالوا : وما الجهاد الأكبر ؟ قال : مجاهدة العبد هواه
               
“Kalian datang dengan sebaik-baik kedatangan, kalian datang dari jihad kecil menuju jihad besar.” Mereka bertanya: “Apakah jihda besar itu?” Beliau bersabda: “Mujahadahnya seorang hamba terhadap hawa nafsunya.” (HR. Al Baihaqi, Zuhd Al Kabir, No. 384, hadits dari Jabir bin Abdullah. Al Baihaqi mengatakan: sanadnya Dhaif . Imam Khathib Baghdadi, Tarikh Baghdad, 6/171.  Lihat Alauddin Muttaqi Al Hindi,  Kanzul ‘Ummal, No. 11260)

Hadits ini juga dhaif, bahkan dengan kedhaifan yang parah. Lantaran dalam sanadnya terdapat beberapa perawi yang dhaif. Yakni ‘Isa bin Ibrahim, Yahya bin Ya’la, dan Laits bin Abi Sulaim.

Tentang ‘Isa bin Ibrahim ini, dia adalah ‘Isa bin Ibrahim bin Siyar, disebut juga Ibnu Dinar Asy Sya’iri Abu Ishaq, disebut juga Abu Umar, ada juga yang mengatakan Abu Yahya Al Bashri, lebih dikenal dengan Al Barki. (Tahdzibut Tahdzib, 8/183).       Disebutkan tentang dia : shaduq lahu awham (jujur tetapi ada keraguan). (Al Hafizh Ibnu Hajar, Taqribut Tahdzib, 1/768. Al Hafizh Adz Dzahabi, Mizanul I’tidal, 3/310). Abu Hatim mengatakan: shaduq (jujur). An Nasa’i mengatakan: tidak apa-apa. (Mizanul I’tidal, 3/310)

Sementara Yahya bin Ya’la, dia adalah   Yahya bin Ya’la Al Aslami Al Qathuwani Al Kufi.  Imam  Ibnu Ma’in ditanya tentang dia, katanya: bukan apa-apa. Al Bukhari mengatakan: mudhtharibul hadits (haditsnya guncang). Abu Hatim mengatakan: dhaiful hadits laisa bil qawwi (haditsnya lemah dan tidak kuat). Ibnu Abi mengatakan, dia adalah orang Kufah dan Syi’ah. (Al Hafizh Ibnu Hajar, Tahdzbut Tahdzib, 11/266. Lihat juga Mizanul I’tidal, 4/415)   

Ada pun tentang Laits bin Abi Sulaim, Imam Ahmad berkata tentangnya: “sangat lemah dan banyak kesalahan.”  Yahya bin Ma’in mengatakan: dhaif. (Imam Ibnu Hibban, Al Majruhin, 2/232). Sufyan bin ‘Uyainah mendhaifkannya, sedangkan Abu Zur’ah ditanya tentang Laits ini, katanya: “haditsnya lemah dan tidak bisa berhujjah dengan haditsnya.” (Tahdzibut Tahdzib, 8/418)

Maka, jelaslah sudah kelemahan hadits ini, dengan kelemahan yang sangat. Dan, Syaikh Al Albani mengatakannya sebagai hadits munkar. (As Silsilah Adh Dha’ifah, No. 2460).

Wallahu A’lam

Catatan:

Walau hadits-hadits di atas lemah, bahkan tidak ada dasarnya. Islam mengakui bahwa jihad terhadap hawa nafsu memang ada. Dari Fadhalah bin ‘Ubaid, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

 المجاهد من جاهد نفسه
                “Mujahid adalah orang yang berjihad terhadap hawa nafsunya.” (HR. At Tirmidzi No. 1621, katanya: hasan shahih. Abu Daud No. 1258)

                Hadits ini shahih. (Misykah Al Mashabih No. 3823. As Silsilah Ash Shahihah No. 549. Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 1258)

                Perlu diketahui, kelemahan hadits-hadits tentang jihad melawan hawa nafsu yang kita bahas lalu  (bahkan tidak ada dasarnya), tidak berarti mengurangi derajat jihad melawan hawa nafsu. Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Rahimahullah:
               
وَلَا رَيْبَ أَنَّ مُجَاهَدَةَ النَّفْسِ مَأْمُورٌ بِهَا وَكَذَلِكَ قَهْرُ الْهَوَى وَالشَّهْوَةِ كَمَا ثَبَتَ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ : { الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي ذَاتِ اللَّهِ وَالْكَيِّسُ مَنْ دَانَ نَفْسَهُ وَعَمِلَ لِمَا بَعْدَ الْمَوْتِ وَالْعَاجِزُ مَنْ أَتْبَعَ نَفْسَهُ هَوَاهَا وَتَمَنَّى عَلَى اللَّهِ } لَكِنْ الْمُسْلِمَ الْمُتَّبِعَ لِشَرِيعَةِ الْإِسْلَامِ هُوَ الْمُحَرِّمُ مَا حَرَّمَهُ اللَّهُ وَرَسُولُهُ فَلَا يُحَرِّمُ الْحَلَالَ وَلَا يُسْرِفُ فِي تَنَاوُلِهِ ؛ بَلْ يَتَنَاوَلُ مَا يَحْتَاجُ إلَيْهِ مِنْ طَعَامٍ أَوْ لِبَاسٍ أَوْ نِكَاحٍ وَيَقْتَصِدُ فِي ذَلِكَ وَيَقْتَصِدُ فِي الْعِبَادَةِ ؛ فَلَا يُحَمِّلُ نَفْسَهُ مَا لَا تُطِيقُ .
               
                “Tidak diragukan bahwa berjihad mengendalikan diri adalah diperintahkan, begitu pula menguasai hawa nafsu dan syahwat. Sebagaimana telah tsabit (kuat) dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bahwa dia bersabda:
                “Mujahid adalah orang yang berjihad melawan nafsunya di jalan Allah, dan orang pintar adalah orang mampu menguasai dirinya dan berbuat untuk hari setelah kematiannya, dan orang lemah adalah orang yang jiwanya mengikuti hawa nafsunya, dan berangan-angan kepada Allah.”
                Tetapi seorang muslim hanya mengikuti syariat Islam, dia mengharamkan apa yang Allah dan RasulNya haramkan, dia tidak mengharamkan yang halal dan tidak berlebihan dalam menikmatinya, tetapi dia menggunakannya sesuai kebutuhan saja baik berupa makanan, nikah, dia sederhana dalam hal itu, dan sederhana pula dalam hal ibadah, dia tidak membebani dirinya dengan apa-apa yang tidak dia mampu.”          (Imam Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa, 3/302)
Bahkan seorang ulama mujahid, perawi hadits terpercaya, Imam Abdullah bin Mubarak mengomentari ayat:
وَجَاهِدُوا فِي اللّهِ حَقّ جِهَادِه
                “Berjihadlah kalian di jalan Allah dengan sebenar-benarnya jihad.”
                Beliau berkata:
هُوَ مُجَاهَدَةُ النّفْسِ وَالْهَوَى
                “Itu adalah berjihad  terhadap jiwa dan hawa nafsu.”   (Imam Ibnu Qayyim, Zaadul Ma’ad, 3/8. Muasasah Ar Risalah).
                Imam Ibnul Qayyim sendiri telah membahas panjang masalah ini, dan dia membuat maratibul jihad (urutan jihad) bahwa jihad ada empat urutan, yakni jihad  terhadap hawa nafsu, jihad melawan syetan, jihad melawan orang kafir dan jihad melawan orang munafik.  Jihad terhadap hawa nafsu juga terbagi atas empat, yakni: Pertama,  jihad untuk mempelajari petunjuk dan agama yang benar. Kedua, jihad mengamalkan ilmu tersebut. Ketiga, jihad mendakwahkan dan mengajarkan ilmu tersebut agar tidak termasuk orang yang menyembunyikan ilmu. Keempat, jihad bersabar ketika mendakwahkannya atas segala bentuk kesulitan dan peneritaan yang akan menimpanya.  (Ibid, 3/9) selesai.
Ada pun riwayat yang shahih tentang jihad yang paling afdhal adalah sebagai berikut, dari Abu Said Al Khudri, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أَفْضَلُ الْجِهَادِ كَلِمَةُ عَدْلٍ عِنْدَ سُلْطَانٍ جَائِرٍ أَوْ أَمِيرٍ جَائِرٍ
                “Jihad paling utama adalah mengutarakan  perkataan yang adil di depan penguasa yang zalim atau pemimpin yang zalim.” (HR. Abu Daud No. 4344. At Tirmidzi No. 2265, katanya: hasan gharib. Ahmad No. 10716, dalam  lafaz Ahmad tertulis: “Kalimatul haq ..(perkataan yang benar). Ibnu Majah No. 4011)

                Hadits ini shahih. (Misykah Al Mashabih, No. 3705. As Silsilah Ash Shahihah, No. 491. Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No. 4344)

                Sedangkan jihad paling utama  bagi wanita adalah haji yang mabrur. Dari Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:

يَا رَسُولَ اللَّهِ نَرَى الْجِهَادَ أَفْضَلَ الْعَمَلِ أَفَلَا نُجَاهِدُ قَالَ لَا لَكِنَّ أَفْضَلَ الْجِهَادِ حَجٌّ مَبْرُورٌ
          “Ya Rasulullah, kami melihat jihad adalah amal yang paling utama, apakah kami juga boleh berjihad?” Nabi bersabda: “Tidak, tetapi sebaik-baiknya jihad adalah haji yang mabrur.” (HR. Bukhari No. 1448, 1762, 2632, 2720, 2721)

                 Wallahu A’lam


4.       Hadits: “Shalat adalah tiang agama ..”

Dari ‘Ikrimah, dari Umar, bahwa ada seorang laki-laki datang kepad Rasulullah lalu bertanya: “Wahai Rasulullah, hal apakah dalam Islam yang paling Allah sukai?” Rasulullah menjawab:

الصلاة لوقتها ، ومن ترك الصلاة فلا دين له ، والصلاة عماد الدين
                “Shalat pada waktunya, dan barangsiapa yang meninggalkan shalat maka tidak ada agama baginya, dan shalat adalah tiang agama.” (HR. Al Baihaqi, Syu’abul Iman, No. 2683, dan Al Baihaqi mengatakan: Abu Abdillah (Al Hakim) mengatakan: “Ikrimah tidak mendengarnya dari Umar, aku kira maksudnya adalah Ibnu Umar.” Lihat juga, Alauddin Al Muttaqi Al Hindi, Kanzul ‘Umal, No. 19582)

                Jika benar ikrimah dari Umar, maka hadits ini munqathi’ (terputus sanadnya), sebab Ikrimah tidak sezaman dengan Umar bin Al Khathab.

                Al ‘Allamah Muhammad bin Thahir Al Hindi Al Fatani mengatakan dhaif. (Tadzkirah Al Maudhu’at, Hal. 38)
               
Imam As Sakhawi mengatakan bahwa ini diriwayatkan oleh Al Baihaqi, dan sanad hadits ini dhaif, dan gurunya, Al Hakim, mengatakan, bahwa ‘Ikrimah tidak mendengarnya dari Umar, mungkin maksudnya adalah Ibnu ‘Umar. Pengarang Al Wasith mengatakan, bahwa Ibnu Shalah tidak mengomentari hadits ini. Sementara dalam Musykilul Wasith disebutkan bahwa hadits ini tidak dikenal (ghairu ma’ruf). Berkata An Nawawi dalam At Tanqih: hadits ini munkar bathil. (Imam As Sakhawi, Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 144. Mawqi’ Al Warraq. Lihat juga Imam Al ‘Iraqi, Takhrijul Ahadits Al Ihya’, 1/368)

          Apa yang dikatakan oleh Imam An Nawawi dianggap berlebihan. Al Munawi mengatakan bahwa Ibnu Haj telah membantahnya, bahwa hadits ini hanya dhaif  dan terputus saja, bukan bathil. (Al ‘Ajluni, Kasyful Khafa, 2/31)

                Begitu pula Al Hafizh Ibnu Hajar mengomentari Imam An Nawawi, katanya: “Tidaklah demikian, bahkan Abu Nu’aim, Syaikhnya Bukhari, meriwayatkan dalam Kitabush Shalah, dari Habib bin Sulaim, dari Bilal bin Yahya, dia berkata: “Datang seorang laki-laki kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan bertanya, maka beliau bersabda: “Ash Shalatu ‘Umududdin.” (Shalat adalah tiang-tiang agama). Hadits ini mursal, dan perawinya terpercaya. (Al Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish Al Habir, 1/446. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah. Lihat juga Al Maqashid Al Hasanah, Hal. 144)

                Namun demikian hadits ini memang dhaif, walau tidak seperti yang dikatakan oleh Imam An Nawawi. Syaikh Al Albani juga mendhaifkannya. (Dhaiful Jami’ No. 170)

                Ada juga riwayat lain, dari Ad Dailami, dari Ali secara marfu’, yang berbunyi:

الصلاة عماد الدين والجهاد سنام العمل والزكاة بين ذلك

                “Shalat adalah tiang agama, jihad adalah puncaknya amal, dan zakat di antara keduanya.”

                Riwayat ini dhaif jiddan (sangat lemah). (As Silsilah Adh Dhaifah Mukhtasharah, No. 3805)

                Catatan:

                Walau riwayat-riwayat seperti ini adalah dhaif. Namun, adalah BENAR bahwa shalat sebagai tiang agama. Ini ditegaskan oleh riwayat lainnya yang  shahih dari Imam At Tirmidzi, berikut:

                Dari Muadz bin Jabal Radhiallahu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:

أَلَا أُخْبِرُكَ بِرَأْسِ الْأَمْرِ كُلِّهِ وَعَمُودِهِ وَذِرْوَةِ سَنَامِهِ قُلْتُ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ رَأْسُ الْأَمْرِ الْإِسْلَامُ وَعَمُودُهُ الصَّلَاةُ وَذِرْوَةُ سَنَامِهِ الْجِهَادُ

                “Ketahuilah, akan aku beritahukan kepadamu tentang kepala segala urusan, tiang-tiangnya, dan puncak punuknya.” Aku berkata: “Tentu ya Rasulullah.” Rasulullah bersabda: “Kepalanya urusan adalah Islam, tiang-tiangnya adalah shalat, dan puncak dari punuknya adalah jihad.” (HR. At Tirmidzi No. 2749, katanya: hasan shahih) 

                Hadits ini shahih. (Syaikh Al Albani, Shahih Wa Dhaif Sunan At Tirmdzi, No. 2616). Wallahu A’lam

Bersambung .... (Insya Allah)