As Silsilah As Sunah Al Mahjurah (Bag. 4)
Oleh: Farid Nu’man Hasan
Shalat
Gerhana
Kusuful Qamar (Gerhana Bulan) dan Khusufusy Syams
(Gerhana Matahari) adalah dua tanda-tanda kebesaran Allah Ta’ala yang
dikehendakiNya terjadi dalam kehidupan dunia. Keduanya tidak terkait dengan mitos
dan khurafat tertentu. Keduanya –dan hal apa pun yang terjadi pada
benda-benda langit- adalah terjadi sesuai dengan iradah dan qudrahNya atas mereka.
Allah Ta’ala berfirman:
الشَّمْسُ وَالْقَمَرُ بِحُسْبَانٍ (5)
وَالنَّجْمُ وَالشَّجَرُ يَسْجُدَانِ (6) وَالسَّمَاءَ رَفَعَهَا وَوَضَعَ
الْمِيزَانَ (7) أَلَّا تَطْغَوْا فِي الْمِيزَانِ (8)
Matahari
dan bulan (beredar) menurut perhitungan dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan
Kedua-duanya tunduk kepada nya dan Allah telah meninggikan langit dan Dia
meletakkan neraca (keadilan), supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca
itu. (QS. Ar Rahman: 5-8)
Islam
telah memberikan bimbingan bagi umatnya tentang apa yang mesti mereka perbuat
jika datang peristiwa gerhana. Peristiwa ini bukan sekedar menjadi pengalaman
alamiah semata, dan sekedar untuk bersenang-senang melihat gerhana, tetapi
dikembalikan kepada upaya dan sarana pengabdian kepada yang menciptakan
terjadinya gerhana.
I.
Ta’rif (Definisi)
Apakah
yang dimaksud dengan Kusuful Qamar dan Khusufusy Syams?
Imam
An Nawawi Rahimahullah menjelaskan:
وجمهور أهل اللغة وغيرهم على أن الخسوف
والكسوف يكون لذهاب ضوئهما كله و يكون لذهاب بعضه
Menurut
mayoritas ahli bahasa dan selain mereka, bahwa khusuf dan kusuf itu terjadi
karena hilangnya cahaya keduanya (matahari dan bulan) secara
keseluruhan, dan karena juga hilangnya sebagiannya. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim,
6/198)
II.
Masyru’nya
Shalat Gerhana
Kesunahan shalat
gerhana telah menjadi kesepakatan dari masa ke masa, sebab begitu banyak
riwayat yang menyebutkannya, baik untuk dilakukan oleh kaum laki-laki dan
wanita, dan afdhalnya dilakukan secara berjamaah.
Khadimus Sunnah,
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah menjelaskan:
اتفق العلماء على أن صلاة الكسوف سنة مؤكدة في حق الرجال والنساء، وأن الافضل أن تصلى في جماعة وإن كانت الجماعة ليست شرطا فيها
Para ulama telah sepakat, bahwasanya shalat
gerhana adalah sunah muakadah (sunah yang ditekankan) bagi kaum
laki-laki dan wanita, dan afdhalnya dilakukan secara berjamaah, hanya saja
berjamaah itu bukan syarat sahnya shalat gerhana. (Fiqhus Sunnah,
1/213)
Imam An Nawawi Rahimahullah juga
menjelaskan:
وأجمع العلماء على أنها سنة ومذهب مالك
والشافعي وأحمد وجمهور العلماء أنه يسن فعلها جماعة وقال العراقيون فرادى
Ulama telah ijma’
bahwa shalat gerhana adalah sunah, dan madzhab Malik, Syafi’i, Ahmad, dan
mayoritas ulama bahwa shalat tersebut disunahkan dilakukan dengan cara
berjamaah. Sedangkan ‘Iraqiyin (para ulama Iraq, yakni Abu Hanifah dan
sahabat-sahabatnya, pen) berpendapat dilakukan sendiri saja. (Al
Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/198)
Artinya, tidak mengapa
dilakukan sendiri, namun menghidupkan sunah –yakni berjamaah- adalah lebih
utama, sebab begitulah yang dilakukan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa
Sallam bersama para sahabatnya, dan ini menjadi pegangan umumnya fuqaha.
III.
Dalil Pensyariatannya
Di sini akan di
sebutkan satu saja dari sekian banyak dan model penceritaan shalat gerhana,
yakni dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha menceritakan bahwa Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ
اللَّهِ لَا يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ
ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
Sesungguhnya
(gerhana) matahari dan bulan adalah dua
tanda di antara tanda-tanda kebesaran Allah, keduanya terjadi bukan karena
wafatnya seseorang dan bukan pula lahirnya seseorang. Jika kalian
menyaksikannya, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat, dan bersedehkahlah.
(HR. Bukhari No. 1044, 1046, Muslim No. 901)
Inilah cara Islam,
yakni berdoa, berdzikir (takbir), shalat, dan bersedekah, bukan mengaitkannya
dengan mitos, tahayul, dan khurafat tertentu. Sabda nabi ini, sekaligus
mengoreksi keyakinan sebagian manusia pada zaman itu yang mengaitkan terjadinya
gerhana dengan wafatnya anak Beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, yaitu
Ibrahim.
IV.
Waktu Pelaksanaannya
Waktunya adalah sejak
awal gerhana sampai keadaan kembali seperti sedia kala.
Syaikh Sayyid Sabiq Rahimahullah berkata:
ووقتها من حين الكسوف إلى التجلي
Waktunya adalah dari sejak gerhana sampai
kembali tampak (sinarnya). (Fiqhus Sunnah, 1/215)
Dengan kata lain, seperti yang dikatakan oleh
Syaikh Wahbah Az Zuhaili Hafizhahullah:
تصلى هذه الصلاة وقت حدوث الكسوف
والخسوف
Dilaksanakannya shalat ini adalah pada
waktu terjadinya gerhana (Al Kusuf dan Al Khusuf). (Al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, 2/552)
Sehingga, shalat gerhana belum boleh dilaksanakan
jika belum mulai gerhana, dan sebaliknya jika sudah nampak terang atau sinar lagi
secara sempurna, selesailah waktu dibolehkannya pelaksanaan shalat gerhana.
Bolehkah dilakukan pada waktu-waktu terlarang
shalat? Yaitu setelah shalat subuh sampai saat awal terbit matahari, ketika
matahari tegak di atas sampai tergelincirnya, lalu setelah shalat ashar sampai
saat pas matahari terbenam.
Dalam hal ini para ulama berbeda pendapat, Jumhur
(mayoritas) mengatakan tidak boleh yakni makruh,
inilah pandangan Hanafiyah, Malikiyah, dan Hanabilah, kalangan Hanabilah mengatakan
berdoa dan berdzikir saja, tanpa
shalat, sebab larangan itu berlaku umum
untuk jenis shalat sunah apa pun. Ada pun kalangan syafi’iyah membolehkannya. (Ibid,
2/553-554)
Yang lebih kuat – Wallahu A’lam- adalah
yang menyatakan boleh. Dalilnya adalah:
-
Keumuman dalil:
فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ
وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
Jika kalian menyaksikannya, maka berdoalah kepada
Allah, bertakbirlah, shalat, dan bersedehkahlah. (HR. Bukhari No. 1044,
Muslim No. 901)
Maka, hadits ini berlaku secara mutlak (umum)
bahwa shalat gerhana dilakukan kapan saja, sebab itu adalah konsekuensi dari
perkataan “Jika kalian
menyaksikannya.” Jadi, kapan saja menyaksikan gerhana, shalatlah . ...
-
Larangan shalat pada waktu-waktu terlarang itu
hanya berlaku bagi shalat-shalat yang dilakukan tanpa sebab (istilahnya shalat
muthlaq). Ada pun jika dilakukan karena adanya sebab khusus, maka
dibolehkan. Hal ini terlihat jelas ketika Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
membolehkan seorang sahabatnya yang mengqadha shalat sunah fajar dilakukan
setelah shalat subuh.[1] Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam juga pernah
mengqadha shalat sunah ba’diyah zhuhur di waktu setelah ashar.[2] Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam memerintahkan seseorang untuk melaksanakan shalat tahiyatul
masjid ketika beliau sedang khutbah, padahal itu adalah waktu yang terlarang
melakukan aktifitas apa pun kecuali mendengarkan khutbah, ternyata Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam justru memerintahkan sahabat itu, dengan
mengatakan qum farka’ rak’atain (Bangunlah dan shalatlah dua rakaat).[3] Para
sahabat juga pernah shalat jenazah pada waktu setelah ashar, sehingga menurut
Imam An Nawawi[4]
dan Imam Abul Hasan Al Mawardi[5]
kebolehan shalat jenazah pada waktu terlarang adalah ijma’ , karena saat
itu para sahabat tidak ada yang mengingkarinya. Begitu pula shalat gerhana di
waktu-waktu terlarang ini, dia termasuk shalat yang memiliki sebab (yakni peristiwa
gerhana), bukan termasuk shalat muthlaq. Sehingga tetap dibolehkan walau
dilakukan saat waktu terlarang shalat.
V.
Tata Cara Pelaksanaannya
Tata cara pelaksanaan shalat gerhana telah dijelaskan secara rinci dalam
kitab Shahih Bukhari dan Shahih Muslim, sebagai berikut:
Dari ‘Aisyah Radhiallahu ‘Anha, katanya:
خَسَفَتْ
الشَّمْسُ فِي حَيَاةِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَخَرَجَ
إِلَى الْمَسْجِدِ فَصَفَّ النَّاسُ وَرَاءَهُ فَكَبَّرَ فَاقْتَرَأَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قِرَاءَةً طَوِيلَةً ثُمَّ كَبَّرَ
فَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ فَقَامَ وَلَمْ
يَسْجُدْ وَقَرَأَ قِرَاءَةً طَوِيلَةً هِيَ أَدْنَى مِنْ الْقِرَاءَةِ الْأُولَى
ثُمَّ كَبَّرَ وَرَكَعَ رُكُوعًا طَوِيلًا وَهُوَ أَدْنَى مِنْ الرُّكُوعِ
الْأَوَّلِ ثُمَّ قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ
ثُمَّ سَجَدَ ثُمَّ قَالَ فِي الرَّكْعَةِ الْآخِرَةِ مِثْلَ ذَلِكَ فَاسْتَكْمَلَ
أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فِي أَرْبَعِ سَجَدَاتٍ وَانْجَلَتْ الشَّمْسُ قَبْلَ أَنْ
يَنْصَرِفَ
Terjadi gerhana matahari pada saat hidup
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, Beliau keluar menuju masjid
lalu dia berbaris bersama manusia di belakangnya, lalu Beliau bertakbir, lalu
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membaca surat dengan panjang
(lama), lalu beliau bertakbir dan ruku dengan ruku yang lama, lalu bangun dan
berkata: sami’allahu liman hamidah, lalu Beliau berdiri lagi tanpa
sujud, lalu Beliau membaca lagi dengan panjang yang hampir mendekati panjangnya
bacaan yang pertama, lalu Beliau takbir, lalu ruku dengan ruku yang lama yang
hampir mendekati lamanya ruku yang pertama, lalu mengucapkan: sami’allahu
liman hamidah rabbana wa lakal hamdu, kemudian Beliau sujud.
Kemudian dia berkata: pada rakaat terakhir dilakukan seperti itu juga maka
sempurnalah empat kali ruku pada empat kali sujud. Lalu, matahari terbit
sebelum Beliau pulang. (HR. Bukhari No. 1046, Muslim No. 901, 1, 3)
Dalam hadits ini bisa dipahami:
-
Shalat gerhana dilakukan oleh Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam di dalam masjid
-
Shalat gerhana dilakukan secara berjamaah
-
Shalat gerhana dilakukan sebanyak dua rakaat
-
Rakaat pertama dua kali ruku, Rakaat kedua juga
dua kali ruku, total empat kali ruku
-
Tertibnya: takbiratul ihram, membaca Al Fatihah, membaca surat yang panjang, lalu ruku yang
lama, bangun lagi, membaca Al Fatihah, membaca surat yang panjangnya hampir
sama dengan yang pertama, lalu ruku’ yang lamanya hampir sama dengan ruku
sebelumnya, setelah itu sujud seperti shalat biasa (lengkap dengan duduk di
antara dua sujudnya), lalu bangun lagi dan melakukan hal yang sama dengan
rakaat pertama, hingga salam.
Tambahan:
-
Ada pun dalam riwayat lain, diceritakan bahwa
sujudnya juga panjang. (HR. Bukhari No. 3203)
-
Dianjurkan imam mengucapkan Ash Shalatu Jami’ah,
boleh juga orang lain, untuk mengumpulkan manusia agar berkumpul di masjid,
sebagaimana riwayat berikut:
Dari Abdullah bin Amr Radhiallahu ‘Anhuma,
katanya:
لَمَّا كَسَفَتْ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نُودِيَ إِنَّ الصَّلَاةَ جَامِعَةٌ
Ketika terjadi gerhana matahari pada masa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi
wa Sallam telah diserukan bahwa sesungguhnya shalat ini berjamaah (Ash
Shalatu Jaami’ah). (HR. Bukhari 1045, menurut lafaz Imam Muslim No. 910,
20: nudiya bish shalati jaami’ah – diserukan dengan kalimat: Ash Shalatu
Jaami’ah.)
Oleh karenanya, Syaikh Sayyid Sabiq berkata:
وينادى لها: (الصلاة جامعة)
Dan diserukan untuk shalat gerhana: Ash Shalatu
Jaami’ah! (Fiqhus Sunnah,
1/213)
Demikian ini adalah tata cara shalat menurut
jumhur ulama.
Apakah Ada Cara Lain?
Dalam pandangan Imam
Abu Hanifah dan pengikutnya, tatacara
shalat gerhana adalah dua rakaat biasa dengan sekali ruku, sebagaimana shalat
hari raya atau shalat Jumat.
Imam An Nawawi
menyebutkan:
وقال الكوفيون هما ركعتان كسائر
النوافل عملا بظاهر حديث جابر بن سمرة وأبي بكرة أن النبي صلى الله عليه و سلم صلى
ركعتين
Berkata Kufiyyin
(Para ulama Kufah), shalat gerhana adalah dua rakaat sebagaimana shalat nafilah
lainnya, berdasarkan zahir hadits Jabir bin Samurah dan Abu Bakrah bahwa Nabi
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dua rakaat. (Al Minhaj Syarh
Shahih Muslim, 6/198)
Dalilnya adalah bahwa:
1.
Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bersabda:
فإذا رأيتم ذلك فصلوا كأحدث صلاة صليتموها من
المكتوبة
Maka, jika kalian
melihat gerhana, shalatlah kalian sebagaimana shalat wajib yang kalian lakukan.
(HR. Ahmad No. 20607, dari Qabishah, An Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No.
1870, dari An Nu’man bin Basyir, Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 6128, Al Bazzar No. 1371, Ath Thabarani dalam
Al Kabir No. 957, dalam Al Awsath No. 2805)
2.
Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam
bersabda:
الشمس انخسفت فصلى
نبي الله صلى الله عليه وسلم ركعتين ركعتين
Matahari mengalami
gerhana, lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dua rakat dua
rakaat. (HR. An Nasa’i dalam Sunannya No. 1487, juga dalam As
Sunan Al Kubra No. 1872, Al Bazzar No. 3294)
Namun dua hadits ini
dipermasalahkan para ulama. Kita bahas satu persatu.
Hadits pertama,
yang berbunyi: “Maka, jika kalian melihat gerhana, shalatlah kalian
sebagaimana shalat wajib yang kalian lakukan.”
-
Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dalam Musnadnya
No. 20607, dengan sanad: Berkata kepada kami Abdul Wahhab Ats Tsaqafi, berkata
kepada kami Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Qabishah, katanya: (lalu disebut hadits di
atas)
-
Dikeluarkan oleh Imam An Nasa’i dalam As Sunan
Al Kubra No. 1870, dengan sanad: Telah mengabarkan kami Muhammad bin
Basyar, dia berkata: telah mengabarkan kepada kami Abdul Wahhab, dia berkata:
Khalid dari Abu Qilabah dari An Nu’man bin Basyir, katanya: (lalu disebutkan hadits diatas)
-
Dikeluarkan oleh Imam Al Baihaqi dalam As Sunan
Al Kubra No. 6128, dengan sanad: Telah mengabarkan kami Abul Hasan Ali bin
Muhammad Al Muqri’ Al Mihrajani, dengannya dia mengabarkan kepada Al Hasan bin
Muhammad bin Ishaq, berkata kepada kami Yusuf bin Ya’qub Al Qadhi, berkata
kepada kami Muhammad bin Abi Bakr, berkata kepada kami Abdul Wahhab Ats
Tsaqafi, dari Khalid, dari Abu Qilabah, dari An Nu’man bin
Basyir, katanya: (lalu disebut hadits di atas)
-
Dikeluarkan oleh Imam Al Bazzar dalam Musnadnya
No. 1371, dengan sanad: bercerita kepada kami Nashr bin Ali, bercerita kepada
kami Ziyad bin Abdullah, Yazid bin Abi
Ziyad, Abdurrahman bin Abi Laila, dari Bilal, katanya: (lalu
disebut hadits di atas)
-
Imam Al Bazzar juga mengeluarkan pada No. 3294,
dengan sanad: bercerita kepada kami Muhammad bin Mutsanna, mengabarkan kami
Muadz bin Hisyam, katanya: ayahku mengabarkan kepadaku, dari Qatadah, dari Abu
Qilabah, dari An Nu’man bin Basyir, katanya: (lalu disebut hadits di
atas)
-
Imam Ath Thabarani mengeluarkan dalam Al Mu’jam
Al Awsath No. 2805, sanadnya: bercerita kepada kami Ibrahim, bercerita
kepada kami Ruh bin Abdul Mu’min Al Bashri, bercerita kepada kami Muadz bin
Hisyam, katanya: ayahku berkata kepadaku, dari Qatadah, dari Abu Qilabah,
dari An Nu’man bin Basyir, katanya: (lalu disebut hadits di atas)
-
Imam Ath Thabarani juga mengelurkan dalam Al
Mu’jam Al Awsath No. 957, sanadnya: bercerita kepada kami ’Abdan bin Ahmad,
bercerita kapeada kami Muawiyah bin ‘Imran Al Jarmi, bercerita kepada kami Anis
bin Siwar Al Jarmi, dari Ayyub, dari Abu Qilabah, dari Hilal bin
Amru, bahwa Qabishah Al Hilali berkata kepadanya: (disebutkan hadits di atas)
Validitas hadits ini diperselisihkan para imam,
sebab umumnya jalur hadits ini melalui Abu Qilabah (nama aslinya adalah Abdullah
bin Zaid Al Jarmi), Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan:
كان كثير الإرسال، ولم يصرِّح هنا
بسماعه من قبيصة بن مخارق
Dia
banyak memursalkan hadits, dan pada
hadits ini tidak ada kejelasan bahwa
dia mendengar hadits tersebut dari
Qabishah bin Mukhaariq. (Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 20607. Beliau
pun mengatakan: isnaduhu dhaif -
isnadnya dhaif)
Imam
Al Baihaqi juga mengisyaratkan kedhaifan riwayat ini, katanya:
هذا مرسل أبو قلابة لم يسمعه من
النعمان بن بشير إنما رواه عن رجل عن النعمان
Hadits ini
mursal,[6]
Abu Qilabah belum pernah mendengarnya dari An Nu’man bin Basyir, sesungguhnya
dia cuma mendengar dari seorang laki-laki, dari An Nu’man. (Lihat As Sunan Al Kubra No. 6128)
Imam Yahya bin Al
Qaththan juga menyatakan bahwa hadits ini memiliki cacat, yakni inqitha’
(terputus sanadnya). (Al Hafizh Ibnu Hajar, At Talkhish Al Habir,
2/215)
Imam Al Haitsami mengomentari:
رواه البزار والطبراني في الأوسط
والكبير وعبد الرحمن بن أبي ليلى لم يدرك بلالا وبقية رجاله ثقات
Diriwayatkan oleh Al Bazzar, Ath Thabarani dalam Al
Awsath, dan Al Kabir, dan Abdurrahman bin Abi Laila belum pernah
berjumpa dengan Bilal, namun para perawi lainnya terpercaya. (Majma’ Az
Zawaid, 2/446)
Imam Ibnu Abi Hatim mengatakan:
قَالَ أَبِي: قَالَ يَحْيَى بْنُ
مَعِينٍ: أَبُو قِلَابَةَ عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ مُرْسَلٌ، قَالَ أبي: قد
أدرك أبي قِلَابَةَ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ، وَلَا أَعْلَمُ أَسَمِعَ مِنْهُ،
أَوْ لَا
Berkata Ayahku (Imam
Abu Hatim): Berkata Yahya bin Ma’in: Abu Qilabah dari An Nu’man adalah mursal.
Berkata ayahku: Abu Qilabah telah berjumpa dengan An Nu’man bin Basyir, tapi
aku tidak tahu apakah dia mendengar darinya atau tidak. (Imam Az Zaila’i, Nashbur
Rayyah, 2/228)
Jadi, permasalahan yang ada pada hadits ini adalah
semua jalurnya terputus sanadnya baik Abu Qilabah kepada
An Nu’man bin Basyir, atau Abu Qilabah kepada Qabishah, atau Abdurrahman
bin Abi Laila kepada Bilal, walau periwat lainnya adalah orang-orang terpercaya, sehingga
dilemahkan oleh sebagian imam ahli hadits seperti yang kami sebutkan di atas.
Sedangkan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
Rahimahullah menilai bahwa hadits ini mudhtharib (guncang), sehingga
pendapat tentang tata cara shalat gerhana seperti shalat biasa adalah keliru.
Beliau mengatakan:
قلت : هذا المذهب غير صحيح لأن الحديث
ليس بصحيح فإنه مضطرب كما يأتي ومخالف للأحاديث الصحيحة الواردة في الباب
Aku berkata: madzhab
ini tidak benar, karena hadits tersebut tidak shahih, karena dia hadits mudhtharib
sebagaimana penjelasan nanti, dan bertentangan dengan hadits-hadits yang shahih
yang ada pada masalah ini. (Tamamul Minnah, Hal. 262)
Namun, sebagian imam menshahihkan hadits ini. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadits
ini dishahihkan oleh Imam Ibnu Abdil Bar. (At Talkhish Al Habir,
2/215)
Imam An
Nawawi mengatakan bahwa hadits ini shahih, walaupun Imam Al Baihaqi mengatakan
adanya rawi yang gugur (maksudnya tidak disebutkan orangnya) antara Abu Qilabah
dan Qabishah, yaitu Hilal bin Amru, tidaklah menodai keshahihannya, sebab Hilal
bin Amru adalah tsiqah. Imam Al Hakim telah menshahihkannya. (Imam An
Nawawi, Khulashah Al Ahkam,
2/863)
Demikian penjelasan hadits pertama.
Hadits kedua, yang berbunyi: Matahari mengalami gerhana,
lalu Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam shalat dua rakat dua rakaat.
-
Dikeluarkan oleh Imam An Nasa’i dalam Sunannya
No. 1487, dengan sanad: mengabarkan kami Muhammad bin Mutsanna, mengabarkan
kami Muadz (dia adalah Ibnu Hisyam), ayahku
bercerita kepadaku, dari Qatadah, dari Abu Qilabah, dari Qabishah
Al Hilali, bahwasanya: (lalu disebutkan hadits di atas)
Hadits ini sama dengan sebelumnya yakni kemursalan
Abu Qilabah terhadap Qabishah Al Hilali.
Sehingga Syaikh Al Albani mendhaifkannya. (Lihat Dhaif ul Jami’ No.
1474, Shahih wa Dhaif Sunan An Nasa’i
No. 1487)
Jadi, setelah diketahui bahwa keshahihan hadits
ini tidak pasti, bahkan kecenderungan adalah dhaif, maka tata cara
shalat gerhana yang shahih adalah sebagaimana pendapat jumhur ulama, dengan
masing-masing rakaat dua kali ruku’, sebab hal itu diriwayatkan oleh
hadits-hadits yang lebih shahih yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim,
dari para sahabat nabi yang lebih banyak dan lebih utama.
Oleh karenanya, Imam An Nawawi Rahimahullah mengatakan:
وحجة الجمهور حديث عائشة من رواية عروة
وعمرة وحديث جابر وبن عباس وبن عمرو بن العاص أنها ركعتان في كل ركعة ركوعان
وسجدتان قال بن عبدالبر وهذا أصح ما في هذا الباب
Alasan
jumhur adalah hadits ‘Aisyah dari riwayat, ‘Urwah, ‘Umrah, jabir, Ibnu Abbas,
Ibnu Amr bin Al ‘Ash, bahwa shalat tersebut adalah dua kali ruku pada setiap
rakaat, dan juga dua kali sujud. Ibnu Abdil Bar berkata: Ini adalah yang paling
shahih tentang masalah ini. (Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 6/198)
Imam Ibnul Qayyim
Rahimahullah menjelaskan:
السنة الصحيحة
الصريحة المحكمة في صلاة الكسوف تكرار الركوع في كل ركعة، لحديث عائشة وابن عباس
وجابر وأبي بن كعب وعبد الله بن عمرو بن العاص وأبي موسى الاشعري.
كلهم روى عن النبي
صلى الله عليه وسلم تكرار الركوع في الركعة الواحدة، والذين رووا تكرار الركوع
أكثر عددا وأجل وأخص برسول الله صلى الله عليه وسلم من الذين لم يذكروه
Sunah yang shahih dan jelas, yang
bisa dijadikan hukum tentang shalat kusuf adalah yang menunjukkan diulangnya
ruku pada setiap rakaat, yang ditunjukkan oleh hadits ‘Asiyah, Ibnu ‘Abbas, jabir,
Ubai bin Ka’ab, Abdullah bin ‘Amr bin Al ‘Ash, dan Abu Musa Al Asy’ari.
Semuanya meriwayatkan dari Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam bahwa ruku diulang dalam satu rakaat, orang-orang yang
meriwayatkan berulangnya ruku lebih banyak jumlahnya, lebih berwibawa, lebih
istimewa hubungannya dengan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
dibanding orang-orang yang tidak menyebutkan hal demikian. (Lihat
Fiqhus Sunnah, 1/214. Lihat Raudhah An Nadiyah, 1/157)
Wallahu A’lam
VI.
Khutbah
Imam
tiga madzhab mengatakan bahwa tidak ada khutbah dalam masalah gerhana ini. Baik
sebelum atau sesudah shalat. Apalagi bagi yang mengatakan bahwa shalat gerhana
itu dilakukan secara munfarid (sendiri). Hal itu merupakan konsekuensi
logis dari pendapat mereka bahwa shalat gerhana dilakukan secara sendiri, sebab
mana mungkin ada khutbah jika shalatnya sendiri.
Tertulis dalam berbagai kitab para ulama:
قَال أَبُو
حَنِيفَةَ وَمَالِكٌ وَأَحْمَدُ : لاَ خُطْبَةَ لِصَلاَةِ الْكُسُوفِ ، وَذَلِكَ
لِخَبَرِ : فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ ، وَكَبِّرُوا ،
وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا أَمَرَهُمْ
- عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ - بِالصَّلاَةِ ، وَالدُّعَاءِ ،
وَالتَّكْبِيرِ ، وَالصَّدَقَةِ ، وَلَمْ يَأْمُرْهُمْ بِخُطْبَةٍ ، وَلَوْ
كَانَتِ الْخُطْبَةُ مَشْرُوعَةً فِيهَا لأَمَرَهُمْ بِهَا ؛ وَلأِ نَّهَا صَلاَةٌ يَفْعَلُهَا الْمُنْفَرِدُ فِي بَيْتِهِ ؛ فَلَمْ
يُشْرَعْ لَهَا خُطْبَةٌ
Berkata Abu Hanifah, Malik, dan Ahmad: tidak
ada khutbah pada shalat gerhana, alasannya adalah karena hadits: Jika kalian melihat hal itu (gerhana) maka
berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat, dan bersedehkahlah.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam memerintahkan mereka dengan
shalat, doa, takbir, dan bersedekah, tidak memerintahkan mereka berkhutbah.
Seandainya khutbah itu disyariatkan, tentunya mereka akan diperintahkan
melakukannya, dan juga disebabkan bahwa shalatnya dilakukan sendiri dirumah,
maka khutbah tentunya tidak disyariatkan. (Bada’i Ash Shana’i, 1/282,
Mawahib Al Jalil, 2/202, Hasyiah Ad Dasuqi, 1/302, Al Mughni,
2/425, Tabyinul Haqaiq, 1/229)
Sementara Imam Asy Syafi’i dan pengikutnya
mengatakan bahwa khutbah pada shalat gerhana itu disyariatkan. Dilakukan
setelah shalat dengan dua kali khutbah, diqiyaskan dengan shalat Id. (Al
Majmu’ Syarh Al Muhadzdzab, 5/52, Asnal Mathalib, 1/286)
Dalilnya adalah hadits dari ‘Aisyah Radhiallahu
‘Anha yang menceritakan tatacara shalat gerhana yang dilakukan Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, lalu kata ‘Aisyah:
....ثُمَّ
انْصَرَفَ وَقَدْ انْجَلَتْ الشَّمْسُ فَخَطَبَ النَّاسَ فَحَمِدَ اللَّهَ
وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ
اللَّهِ لَا يَخْسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمْ
ذَلِكَ فَادْعُوا اللَّهَ وَكَبِّرُوا وَصَلُّوا وَتَصَدَّقُوا
“ ...
kemudian Beliau berbalik badan dan matahari mulai terang, lalu dia
berkhutbah di hadapan manusia, beliau memuji Allah dengan berbagai
pujian, kemudian bersabda: Sesungguhnya
(gerhana) matahari dan bulan adalah dua
tanda di antara tanda-tanda kebesaran Allah, keduanya terjadi bukan karena
wafatnya seseorang dan bukan pula lahirnya seseorang. Jika kalian
menyaksikannya, maka berdoalah kepada Allah, bertakbirlah, shalat, dan
bersedehkahlah.” (HR. Bukhari No. 1044)
Hadits ini tegas menunjukkan bahwa Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam melakukan khutbah setelah shalat gerhana, dan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam melakukannya dimulai dengan puji-pujian.
Maka, yang
shahih adalah –wallahu a’lam- bahwa khutbah gerhana adalah sunah.
Seandai pun nabi hanya melakukan sekali dalam hidupnya, itu tidaklah
menghilangkan kesunahannya. Hanya saja tidak ada keterangan khutbah itu adalah
dua kali khutbah sebagaimana shalat Id. Tidak dalam hadits, dan tidak pula
dalam atsar para salaf. Dengan kata
lain, aturan dalam khutbah setelah
shalat gerhana tidak se-rigid (kaku) khutbah Jumat dan Id (Hari
Raya). Ada pun pendapat kalangan Syafi’iyah bahwa khutbah adalah dua kali hanya
berasal dari qiyas saja.
Ada ulasan yang bagus dan patut dijadikan
renungan dari Imam Shiddiq Hasan Khan Rahimahullah sebagai berikut:
ثم اعلم أن الخطبة المشروعة هي
ما كان يعتاده صلى الله تعالى عليه وآله وسلم من ترغيب الناس وترهيبهم فهذا في
الحقيقة روح الخطبة الذي لأجله شرعت, وأما اشتراط الحمد لله أو الصلاة على رسول
الله أو قراءة شيء من القرآن فجميعه خارج عن معظم المقصود من شرعية الخطبة واتفاق
مثل ذلك في خطبته صلى الله تعالى عليه وآله وسلم لا يدل على أنه مقصود متحتم وشرط
لازم ولا يشك منصف أن معظم المقصود هو الوعظ دون ما يقع قبله من الحمد والصلاة
عليه صلى الله تعالى عليه وآله وسلم, وقد كان عرف العرب المستمر أن أحدهم إذا أراد
أن يقوم مقاما ويقول مقالا شرع بالثناء على الله وعلى رسوله وما أحسن هذا وأولاه,
ولكن ليس هو المقصود بل المقصود ما بعده ولو قال قائل أن من قام في محفل من
المحافل خطيبا ليس له باعث على ذلك إلا أن يصدر منه الحمد والصلاة لما كان هذا
مقبولا بل كل طبع سليم يمجه ويرده, إذا تقرر هذا عرفت أن الوعظ في خطبة الجمعة هو
الذي يساق إليه الحديث فإذا فعله الخطيب فقد فعل الأمر المشروع إلا أنه إذا قدم
الثناء على الله وعلى رسوله أو استطرد في وعظه القوارع القرآنية كان أتم وأحسن.
Kemudian ketahuilah, bahwa khutbah yang disyariatkan adalah yang biasa
dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa sallam, yaitu
memberikan kabar gembira dan menakut-nakuti manusia. Inilah hakikat yang
menjadi jiwa sebuah khutbah yang karenanya khutbah menjadi disyariatkan. Adapun
yang disyaratkan berupa membaca Alhamdulillah, shalawat kepada Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, membaca ayat Al Quran, maka semuanya itu adalah perkara
di luar tujuan umum disyariatkannya khutbah. Telah disepakati bahwa hal-hal
seperti ini (membaca hamdalah, shalawat, dan membaca ayat, pen)
dalam khutbah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidaklah
menunjukkan bahwa hal itu menjadi syarat
yang wajib dilakukan. Tidak ragu lagi bagi orang yang objektif (munshif),
bahwa tujuan utama dari khutbah adalah nasihatnya, bukan apa yang dibaca
sebelumnya baik itu Alhamdulillah dan
shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Telah menjadi tradisi orang Arab yang terus menerus,
bahwa jika salah seorang di antara mereka berdiri untuk pidato mereka akan memuji Allah Ta’ala dan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan memang betapa baik dan
utama hal itu. Tetapi itu bukanlah tujuannya, tujuannya adalah apa yang
diuraikan setelahnya. Jika ada yang mengatakan bahwa tujuan orang berpidato
dalam sebuah acara adalah hanya mengutarakan Alhamdulillah dan Shalawat,
maka hal ini tidak bisa diterima, dan setiap yang berpikiran sehat akan
menolaknya.
Jadi, jika telah dipahami bahwa jika orang sudah
menyampaikan nasihat dalam khutbah Jumat, dan itu sudah dilakukan oleh khatib,
maka dia telah cukup disebut telah menjalankan perintah. Hanya saja jika dia
mendahuluinya dengan membaca puji-pujian kepada Allah Ta’ala dan Rasulullah Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, serta mengaitkan
pembahasannya dengan membaca ayat-ayat Al Quran, maka itu lebih sempurna
dan lebih baik. (Imam Shiddiq Hasan Khan, Ar Raudhah An Nadiyah,
1/137)
Demikian menurut Imam Shiddiq Hasan Khan. Sebenarnya di
dalam sunah, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam membuka khutbah dengan
bacaan berikut:
أَنْ
الْحَمْدُ لِلَّهِ نَسْتَعِينُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوذُ بِهِ مِنْ شُرُورِ
أَنْفُسِنَا مَنْ يَهْدِ اللَّهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا
هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ
مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
{ اتَّقُوا
اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالْأَرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ
رَقِيبًا }
{ يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا
وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ }
{ يَا أَيُّهَا
الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ
أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعْ اللَّهَ وَرَسُولَهُ
فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا }
(Bacaan pembuka khutbah ini, diriwayatkan oleh Imam At
Tirmidzi No. 1105, Imam Abu Daud No.
2118, Imam Al Baihaqi dalam As Sunan Al Kubra No. 1360, Imam An
Nasa’i dalam As Sunan Al Kubra No. 5528, Imam Ath Thabarani Al Mu’jam
Al Kabir No. 10079, Ahmad No. 4115)
Hadits ini dikatakan hasan oleh Imam At Tirmidzi. (Sunan
At Tirmidzi No. 1105), dishahihkan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth. (Tahqiq
Musnad Ahmad No. 4115), Syaikh
Al Albani juga menshahihkan hadits ini. (Shahih wa Dhaif Sunan Abi Daud No.
2118)
Kalimat pembuka ini dipakai ketika Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam khutbah haji wada’, oleh karenanya dikenal dengan Khutbatul
Hajjah. Tetapi, pembukaan seperti ini juga dianjurkan pada khutbah-khutbah
lainnya, termasuk khutbah gerhana.
Imam Al Baihaqi menceritakan sebagai berikut:
قال شعبة قلت لأبي
إسحاق هذه في خطبة النكاح أو في غيرها قال في كل حاجة
Berkata Syu’bah: Aku bertanya kepada Abu Ishaq, apakah
bacaan ini pada khutbah nikah atau selainnya? Beliau menjawab: “Pada setiap
hajat (kebutuhan).” (Lihat As Sunan Al Kubra No. 13604)
Ada pun tentang penutup khutbah, di dalam sunah pun ada
petunjuknya, yaitu sebuah doa ampunan yang singkat untuk khathib dan
pendengarnya.
عن ابن
عمر ، رضي الله عنهما قال : إن النبي صلى الله عليه وسلم يوم فتح مكة قام على
رجليه قائما ، وخطب فحمد الله تعالى وأثنى
عليه وخطب خطبة ، ذكرها ثم قال : « أقول قولي هذا وأستغفر الله لي ولكم »
Dari Ibnu Umar Radhiallahu ‘Anhuma, dia berkata:
sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hari Fathul Makkah
berdiri di atas kedua kakinya, dan dia berkhutbah, lalu memuji Allah Ta’ala,
dan menyampaikan khutbahnya, kemudian
berkata: Aquulu qauliy hadza wa astaghfirullahu liy wa lakum – aku
ucapkan perkataanku ini dan aku memohonkan ampun kepada Allah untukku dan untuk
kalian. (HR. Al Fakihani dalam Al
Akhbar Al Makkah No. 1731)
Ucapan ini juga diriwayatkan banyak
imam dengan kisah yang berbeda-beda,
seperti oleh Imam Abu Nu’aim dalam Ma’rifatush Shahabah, Imam Al
Baghawi dalam Syarhus Sunnah, Imam Ad Darimi dalam Sunannya, Imam
Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Kabir, dan lainnya.
VII.
Adakah amalan khusus selain shalat?
Seperti yang telah diketahui, kita
diperintahkan untuk berdoa, shalat, bertakbir dan bersedekah. Dari empat amalan ini hanya
shalat yang memiliki keterangan khusus dan mendetail.
Ada pun doa, tidak ada keterangan doa khusus gerhana; baik sebelum, ketika, dan sesudahnya;
baik diawal khutbah, ketika, dan di akhirnya, dan sesudah gerhananya. Maka,
kapan saja berdoa selama masih keadaan gerhana, dengan doa apa pun untuk
kebaikan dunia, akhirat, pribadi, dan umat, adalah boleh, karena termasuk
keumuman perintah untuk berdoa.
Begitu pula bertakbir, tidak ada keterangan
khusus bentuk takbir apa yang diucapkan. Oleh karenanya, takbir apa pun secara
umum yang bermakna membesarkan dan
mengagungkan nama Allah Ta’ala tidaklah mengapa.
Tidak ada pula keterangan dalam Al Quran dan As Sunnah
tentang kadar dan jenis sedekah yang
mesti dikeluarkan ketika gerhana. Maka, ini diserahkan atas kerelaan
masing-masing.
Wallahu
A’lam.
[1] Yakni kisah Qais bin Umar bahwa beliau
shalat subuh di mesjid bersama Rasulullah, sedangkan dia sendiri belum
mengerjakan shalat sunah fajar. Setelah selesai shalat subuh dia berdiri lagi
untuk shalat sunah dua rakaat. Nabi pun berjalan melewatinya dan bertanya:
مَا هَذِهِ الصَّلَاةُ فَأَخْبَرَهُ فَسَكَتَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَضَى وَلَمْ يَقُلْ شَيْئًا
“Shalat apa ini?, maka dia
menceritakannya. Lalu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam diam,
dan berlalu tanpa mengatakan apa-apa.” (HR. Ahmad No. 23812,
Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan: hadits ini mursal, tapi para
perawinya terpercaya. Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 23812. Syaikh Sayyid
Sabiq mengutip dari Imam Al ‘Iraqi: sanad hadits ini hasan. Lihat Fiqhus
Sunnah, 1/187)
[2] Dari Ummu Salamah Radhiallahu ‘Anha, katanya:
وَقَدْ أُتِيَ بِمَالٍ فَقَعَدَ
يُقَسِّمُهُ حَتَّى أَتَاهُ مُؤَذِّنُ الْعَصْرِ فَآذَنَهُ بِالْعَصْرِ ، فَصَلَّى
الْعَصْرَ ، ثُمَّ انْصَرَفَ إِلَيَّ ، وَكَانَ يَوْمِي فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ
خَفِيفَتَيْنِ ، فَقُلْتُ : مَا هَاتَينِ الرَّكْعَتَينِ يَا رَسُولَ الله ؟!
أَمَرْتَ بِهِمَا ؟ قَالَ : لاَ ، وَلَكِنَّهُمَا رَكْعَتَانِ كُنْتُ
أَرْكَعُهُمَا بَعْدَ الظُّهْرِ ، فَشَغَلَنِي قَسْمُ هَذَا الْمَالِ حَتَّى
أَتَانِيَ الْمُؤَذِّنُ بِالْعَصْرِ فَكَرِهْتُ أَنْ أَدَعَهُمَا
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sedang shalat zuhur, lalu didatangkan
kepadanya harta, beliau pun duduk-duduk membagikan harta itu, sampai terdengar
suara muadzin untuk adzan ashar. Kemudian Beliau melaksanakan shalat ashar, dan
setelah selesai shalat Beliau pulang dan menuju rumahku, karena hari itu adalah
gilirannya di tempatku. Lalu, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam
melakukan shalat dua rakaat yang ringan (sebentar), lalu saya pun bertanya: “Shalat
apakah ini ya Rasulullah? Apakah kau diperintahkannya?” Beliau bersabda: “Tidak,
ini hanyalah pengganti dua rakaat ba’da zhuhur yang biasa saya lakukan, tadi
saya sibuk membagikan harta hingga datang waktu ashar. Maka saya tidak suka
meninggalkan dua rakaat tadi.” (HR. Ahmad No. 26602, Syaikh Syua’ib Al
Arnauth mengatakan: shahih. Lihat Tahqiq Musnad Ahmad No. 26602)
جَاءَ رَجُلٌ وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ
النَّاسَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ أَصَلَّيْتَ يَا فُلَانُ قَالَ لَا قَالَ قُمْ
فَارْكَعْ رَكْعَتَيْنِ
Datang seorang laki-laki dan Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam sedang berkhutbah di hadapan manusia pada hari Jumat.
Beliau bersabda: “Wahai fulan, apakah engkau sudah shalat?” orang itu menjawab:
“Tidak.” Beliau bersabda: “Bangunlah dan shalatlah dua rakaat.” (HR.
Bukhari No. 930, dan Muslim No. 875)
لِأَنَّ صَلَاة الْجِنَازَة
لَا تُكْرَه فِي هَذَا الْوَقْت بِالْإِجْمَاعِ
Karena shalat
jenazah tidaklah makruh pada waktu-waktu tersebut menurut ijma’. (Al Minhaj, 6/144)
[5] Tertulis dalam Kitab Al Hawi Al Kabir: “Berkata
Asy Syafi’i Radhiallahu ‘Anhu: “Shalat terhadap jenazah dilakukan pada
setiap waktu.”
Berkata
Al Mawardi: “Ini benar, shalat terhadap mayit tidaklah khusus pada waktu
tertentu saja tanpa waktu lainnya, dan tidak dimakruhkan melakukannya di waktu
tertentu tanpa waktu lainnya, dan dibolehkan pula melaksanakannya pada
waktu-waktu terlarang. Tetapi Abu Hanifah memakruhkannya jika dilakukan pada
waktu-waktu terlarang shalat, termasuk shalat-shalat yang pada dasarnya
memiliki sebab untuk dilaksanakan, dalilnya adalah riwayat dari ‘Uqbah bin
Amir, dia berkata:
“
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang kami shalat pada tiga
waktu dan juga melarang menguburkan mayit pada waktu-waktu tersebut, yakni:
ketika matahari benar-benar terbit hingga meninggi, ketika matahari tegak di atas
hingga bergeser, dan ketika matahari bergerak terbenam hingga dia benar-benar
terbenam.”
Berkata Al Mawardi: “Inilah dalil hukum asal dalam masalah ini seperti yang telah
kami sampaikan sebelumnya. Kemudian dalil khusus untuk masalah ini
adalah telah diriwayatkan bahwa ‘Aqil
bin Abi Thalib Radhiallahu ‘Anhu wafat, lalu dia dishalatkan oleh kaum
muhajirin dan anshar ketika matahari menguning (bergerak terbenam, pen),
dan tidak diketahui adanya seorang pun yang mengingkarinya, maka ini telah
menjadi ijma’ (kesepakatan), dan shalat tersebut menjadi sebab (dalil)
dibolehkannya. Maka dibolehkan melakukan (shalat jenazah) di semua waktu seperti
shalat-shalat wajib, dan hadits dari ‘Uqbah bin Amir bukanlah alasan untuk
melarangnya, karena itu merupakan larangan menguburkan ayat pada waktu-waktu
tersebut. Dan hal ini (shalat jenazah) tidaklah dilarang berdasarkan ijma’.
“ (Imam Abul Hasan Al Mawardi,
Al Hawi Al Kabir, 3/95)
Klaim adanya ijma’
dalam masalah ini tidaklah sesuai realita, walau saat ini kami cenderung pada
pendapat Imam An Nawawi dan Imam Abul Hasan Al Mawardi, yakni bolehnya shalat
sunah pada saat waktu-waktu terlarang jika ada sebab khusus. Sebab, faktanya para imam kaum muslimin
telah berbeda pendapat. Oleh karena itu Syaikh Abul ‘Ala Al Mubarkafuri
mengkritik klaim ijma’ ini, katanya:
قلت قوله صلاة الجنازة لا تكره في
هذا الوقت بالإجماع فيه نظر ظاهر كما ستقف على ذلك في بيان المذاهب
Aku (Syaikh Al Mubarkafuri) katakan: ucapannya (Imam An
Nawawi) bahwa: shalat jenazah tidak dimakruhkan pada waktu terlarang ini
menurut ijma’, pada ucapan ini jelas-jelas mesti dipertimbangkan lagi,
sebagaimana (perbedaan) masalah ini telah dijelaskan dalam keterangan
madzhab-madzhab. (Tuhfah Al
Ahwadzi, 4/100)
[6] Hadits mursal adalah hadits yang gugur pada akhir sanadnya, seorang
setelah generasi tabi’in. Hadits mursal ada tiga macam.
Mursal
Jaliy (jelas) yaitu pengguguran yang dilakukan oleh rawi
(tabi’in) sangat jelas, yaitu jelas-jelas dia tidak hidup sezaman dengan
sahabat nabi yang meriwayatkan hadits tersebut, tapi dia mengatakan bahwa
sahabat nabi telah berkata, bahwa nabi bersabda begini dan begitu. Padahal dia
tidak pernah hidup sezaman dengan sahabat tersebut. Status hadits mursal
seperti ini adalah mardud (tertolak).
Mursal
Khafiy (tersembunyi)
yaitu perawi pada masa tabi’in tersebut hidup sezaman dengan sahabat, tapi dia
tidak pernah mendengarkan hadits darinya sekali pun, walau pernah berjumpa.
Baik karena saat itu dia masih kecil. Atau, karena bisa juga tidak pernah
berjumpa, walau hidup sezaman. Ini juga hadits dhaif. Nampaknya hadits
Abu Qilabah ini termasuk Mursal Khafiy, sebab menurut Imam Abu Hatim,
Abu Qilabah pernah berjumpa dengan An Nu’man bin Basyir, tetapi tidak diketahui
dia mendengar hadits darinya atau tidak.
Mursal
Shahabiy yaitu periwayatan
seorang sahabat dari Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tetapi
dia tidak pernah mendengar atau melihat sendiri dari Nabi Shallallahu
‘Alaihi wa Sallam, lantaran dia masih kecil, atau saat itu baru masuk
Islam. Ini termasuk shahih.
Jumhur
ulama dan Imam Asy Syafi’i menyatakan hadits mursal adalah dhaif dan
tidak bisa dijadikan hujjah, kecuali hadits mursalnya Said bin Al Musayyib,
karena dia dimungkin meriwayatkannya dari mertuanya (Abu Hurairah), atau hadits
mursal yang dikuatkan oleh hadits yang musnad, atau hadits mursal yang
kuatkan oleh qiyas, atau yang dikuatkan oleh hadits mursal lain yang banyak.
Imam Abu
Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, menerima hadits mursal sebagai hujjah.
meneurut mereka seorang tabi’in yang dikenal tsiqah dan adil tidak mungkin menipu dengan menggugurkan
sanad secara sengaja, dan nabi telah memuji generasi tabi’in dengan hadits Shahih
Bukhari: sebaik-baik manusia adalah pada zamanku (sahabat), kemudian
setelahnya (tabi’in),kemudian setelahnya (tabiut tabi’in).
Imam Asy
Syaukani mengatakan hadits mursal tertolak secara mutlak, tanpa kecuali. Sebab
hadits mursal hanya menghasilkan keraguan, bukan kepastian. Pendapat ini
didukung oleh mayoritas muhadditsin setelahnya. Wallahu A’lam